my sense of imagination

ads1

Kamis, 14 November 2013



Pada pokoknya struktur filsafat berkisar pada tiga cabang:

  • Teori Pengetahuan
  • Teori Hakikat
  • Teori Nilai

Tiga cabang ini melahirkan cabang-cabang baru yang merupakan anak-anak cabang dari ketiga cabang tadi.

1. TEORI PENGETAHUAN

Cabang filsafat yang membahas norma-norma atau teori tentang cara mendapatkan pengetahuan dan membicarakan pula tentang bagaimana cara mengatur pengetahuan itu sehingga menjadi pengetahuan yang benardan berarti. posisi terpenting dan terutama dari teori pengetahuan adalah membicarakan apa sebenarnya hakikat pengetahuan itu, cara berpikir dan hukum berpikir mana yang harus dipergunakan agar kita mendapat pemikiran yang kemungkinan benarnya paling besar.

Ada dua cabang yang akan membahasnya:
  • Epistemologi 
  • Logika

1.1. EPISTEMOLOGI

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti knowledge atau pengetahuan dan logy berarti teori. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan, atau filsafat ilmu. Terdapat empat persoalan pokok dalam bidang ini:

  • - Apa pengetahuan itu?
  • - Apa sumber-sumber pengetahuan itu?
  • - Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?
  • - Apakah pengetahuan kita itu benar(valid)?


Definisi pengetahuan

Pada dasarnya pengetahuan mempunyai tiga kriteria:
  • Adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran.
  • persesuaian antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya.
  • adanya keyakinan tentang persesuaian itu.

Persoalan berikutnya yaitu tentang sumber pengetahuan manusia. Louis Q. Kattsof  mengatakan bahwa sumber pengetahuan ada lima macam, yaitu:

  1. Empiris yang melahirka aliran empirisme
  2. Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme
  3. Fenomana yang melahirka aliran fenomenologi/fenomenalisme
  4. Intuisi yang melahirkan aliran intuisionisme
  5. Metode ilmiah yang menggabungkan antara Rasionalisme dan empirisme

1.1.1. Empirisme

Empirime mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman. John Locke  bapak empirisme dari Britania mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa).
Didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana itu.

Ia memandang bahwa akal sebagai jenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan atom-atom yang menyusun objek-objek material. apa yangtidak dapat atau tidak perlu dilacak kembalisecara demikian itu bukanlah pengetahuan atausetidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal faktual.

1.1.2. Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai jenis perangsang pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita dan bukannya di dalam diri barang itu sendiri.

Descartes, bapak rasionalisme menyatakan ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak diragukan. Dengan demikian akal budi dipahaminya sebagai jenis perantara khusus untuk mengenal kebenaran dan sebagai suatu teknik deduktif untuk menemukan kebenaran-kebenaran; artinya dengan melakukan penalaran.

1.1.3. Fenomenalisme

Menurut uraian Emmanuel Kant , barang sesuatu bagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman, dan disusun secara sistematisdengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mengetahui tentang barang sesuatu seperti keadaan sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak pada kita, artinya pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).

Bagi Kant, para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

1.1.4. Intuisionisme

Menurut Henry Bergson, pengetahuan diskursif diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita mengenai sesuatu. ini tergantung pada pemikiran dari suatu sudut pandangan atau kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan sudut pandangan atau kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan sudut pandangan serta kerangka acuan tersebut.

Dengan cara demikian kita memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian tadi, tetapi tidak mengenai kejadian itu seluruhnya. Hanya dengan menggunakan intuisi kita dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian itu suatu kejadian yang langsung, yang mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantara.

1.1.5. Metode Ilmiah

Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.

Unsur utama metode ilmiah adalah pengulangan empat langkah berikut:
  1. Karakterisasi (pengamatan dan pengukuran)
  2. Hipotesis (penjelasan teoretis yang merupakan dugaan atas hasil pengamatan dan pengukuran)
  3. Prediksi (deduksi logis dari hipotesis)
  4. Eksperimen (pengujian atas semua hal di atas)
Setiap langkah diilustrasikan dengan contoh dari penemuan struktur DNA:
  1. DNA/karakterisasi
  2. DNA/hipotesis
  3. DNA/prediksi
  4. DNA/eksperimen
Contoh tersebut dilanjutkan pada tahap "Evaluasi dan pengulangan", yaitu DNA/pengulangan.

1.2 LOGIKA

Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.

Dasar-dasar Logika 

Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah contoh-contoh dari logika formal.
Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif:

Penalaran deduktif—kadang disebut logika deduktif—adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya.

Penalaran induktif—kadang disebut logika induktif—adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

Macam-macam Logika
  • Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.
  • Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.

2. TEORI HAKIKAT

Hakikat artinya keadaan yang sebenarnya. Hakikat sebenarnya adalah keadaan sebenarnya dari sesuatu itu. Teori hakikat merupakan cabang filsafat yang membicarakan hakikat sesuatu.

Cabang teori hakikat:

  • Ontologi
  • Kosmologi
  • Theodecia
2.1. ONTOLOGI

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat dari sesuatu yang ada. Pertanyaan utama dalam ontologi adalah "Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang ada?". Ada empat macam aliran filsafat yang mencoba memberikan jawaban atas persoalan tersebut:

1. Materialisme
2. Idealisme
3. Dualisme
4. Agnoticisme

2.1.1. Materialisme

Materialisme mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa, dan dunia adalah material yang pertama, sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua.

Materialisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu itu ada adalah sesuatu itu sendiri.

2.1.2. Idealisme

Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran -pikiran, akal atau jiwa dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan ide sebagai hal yang lebih dahulu dari pada materi.

Idealisme menekankan sesuatu yang ada diukur dari ide atau persepsi yang dari apa yang dirasakan oleh jiwa dan adanya kesesuaian dengan putusan-putusan lain yang telah diterima sebagai yang benar.

2.1.3. Dualisme

Dualisme adalah aliran filsafat yang mencoba memadukan dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Dualisme mengatakan bahwa materi maupun ide mempunyai hakikat yang sama.

Dualisme beranggapan adanya keselarasan antara ide/ruh dengan materi, namun dualisme mempunyai pertanyaan besar yaitu "bagaimana bisa terjadi keselarasan antara ide/ruh dengan materi?".

2.1.4. Agnoticisme

Agnoticisme beranggapan bahwa manusia tak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataan. Sebab menurut paham ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu tentang hakikat dari sesuatu yang ada, baik oleh indra maupun pikirannya.

Aliran ini mempunyai masalah yaitu tentang siapa sebenarnya yang bisa mengetahui hakikat sesuatu yang ada? aliran ini tidak menjelaskannya.


2.2. KOSMOLOGI

Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek.

Alam fisik atau jagat raya (cosmos) merupakan objek penyelidikan ilmu-ilmu alam, khususnya fisika. Ini berarti bahwa kosmologi adalah penyelidikan tentang jagat raya fisik, terdiri dari dua bagian:

  • Penyelidikan filsafat mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, seperti ruang dan waktu.
  • Pra-anggapan yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagat raya.
Prinsip kosmologi tidaklah benar-benar sebuah prisip, melainkan asumsi yang digunakan untuk membatasi dari begitu banyaknya teori kosmologi yang mungkin. Prinsip ini diturunkan dari pengamatan alam semesta dalam skala besar, dan menyatakan bahwa pada skala yang besar, alam semesta adalah homogen dan isotropik.

2.3. ANTROPOLOGI

Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.

Menurut pandangan ini manusia adalah bagian dari alam yang dipandang sebagaikesatuan totalitas. Hakikat manusia adalh jasmani itu sendiri bukan ruhnya. Sebab ruh hanya ada jika tempat yang ditumpanginya masih utuh, sebaliknya ruh akan hilang apabila tempat yang ditumpanginya/jasmaninya telah hancur/mati.

2.4. THEODECIA

Cabang filsafat theodecia atau teologi membicarakan tentang dasar-dasar ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan berdasarkan logika atau pendapat akal manusia.
Theodecia tidak membicarakan Tuhan dari segi agama. Dalam theodecia terdapat sejumlah aliran:

2.4.1. Theisme

Paham yang mempercayai bahwa Tuhan merupakan pencipta alam ini. Tuhan adalah sebab yang ada dialam ini. Segala-gala bersandar pada sebab ini. Menurut paham ini alam beredar berdasarkan kehendak Tuhan.

2.4.2. Monotheisme

Monotheisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu.

2.4.3. Trinitheisme

Trinitheisme mengajarkan bahwa Tuhan itu ada tiga. Ketiga Tuhan mempunyai fungsi dan tugas yang berbeda.
Paham ini merupakan lanjutan dari polytheisme yang menganggap banyak Tuhan. Kemudian dibatasi sampai tiga Tuhan saja.

2.4.4. Polytheisme

Polytheisme menganggap bahwa Tuhan atau Dewa itu banyak. Pada mulanya Tuhan-Tuhan atau Dewa-Dewa mempunyai kedudukan yang sama, akantetapi karena ada beberapa hal, lambat laun beberapanya ada yang memiliki kedudukanyang lebih tinggi.

2.4.5. Pantheisme

Paham yang menganggap bahwa alam ini adalah Tuhan. Semua yang ada dan keseluruhannya adalah Tuhan.Benda yang dapat dilihat oleh panca indera adalah bagian dari Tuhan.

2.4.6. Atheisme

Paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

2.4.7. Agnostisisme

Paham ini berada di tengah-tengah antara keberadaan Tuhan dan ketidak beradaan Tuhan. Menurut paham ini manusia tak akan sanggup mengetahui pengetahuan tentang Tuhan. Paham ini tidak menafikan Tuhan dan juga tidak mengatakan bahwa Tuhan itu ada.


3. TEORI NILAI

3.1. ETIKA

Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

Jenis etika:

3.1.1. Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[rujukan?]
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.[rujukan?] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:

Non-empiris

Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

Praktis

Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

3.1.2 Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis.Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.

Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.

3.1.3. Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika.  Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:
  • Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
  • Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
  • Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

3.2. ESTETIKA

Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.

Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.
Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal, yaitu:
  1. Studi mengenai fenomena estetis
  2. Studi mengenai fenomena persepsi
  3. Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.

Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan.
keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek jasmani dan aspak rohani.

Rabu, 13 November 2013

NABI Adam a.s gembira apabila menoleh kepalanya ke kanan kerana menyaksikan kalangan zuriatnya, iaitu umat manusia melakukan amalan baik dan akhirnya melayakkan mereka masuk syurga.
Namun apabila baginda menoleh ke kiri, di dapati ada juga kalangan umat manusia yang diseksa dalam neraka akibat balasan amalan-amalan jahat yang mereka lakukan, Ini menyebabkan Nabi Adam sedih dan kecewa.
Demikianlah di sebalik makna perlakuan yang ditunjukkan oleh lelaki bertubuh sasa dan tinggi yang pertama ditemui oleh Nabi Muhammad sejurus memasuki langit pertama dalam perjalanan Mikraj untuk menemui Allah di singgahsana Sidratul Muntaha.
Baginda begitu gembira dapat bertemu dan mengenali manusia pertama ciptaan Allah itu yang kemudiannya menjadi bapa kepada seluruh manusia di muka bumi ini.
Selepas memberi salam kepada Nabi Adam, Nabi Muhammad kemudiannya dibawa naik ke langit kedua dan di situ baginda bertemu Nabi Yahya dan Nabi Isa. Diikuti langit ketiga, baginda bertemu Nabi Yusuf, langit kelima, Nabi Harun dan Musa di langit keenam.
Nabi Muhammad akan memberi salam dan mengakui kenabian kepada setiap nabi yang baginda temui.
Apabila tiba di langit ketujuh, Nabi Muhammad berpeluang menyaksikan Baitul Makmur, iaitu rumah ibadat, binaan sama seperti Kaabah bagi penghuni langit terutamanya para malaikat beribadah dan melakukan tawaf.
Sesetengah mengatakan terdapat hampir 70,000 malaikat yang melakukan tawaf di Baitul Makmur itu.
Ia dikatakan mempunyai kedudukan yang bertepatan dengan kedudukan Kaabah di bumi.
Di situ juga baginda melihat ada seorang lelaki yang wajahnya dikatakan hampir menyerupai Rasulullah sendiri.
Lalu baginda bertanya kepada Jibrail siapa lelaki berkenaan. Jibrail berkata: "Dialah nenek moyang kamu, Nabi Ibrahim."
Baginda sungguh gembira dengan pertemuan ini kerana dapat mengenali Nabi Ibrahim yang mempunyai sejarah kenabian sangat hebat terutama mampu mengalahkan Raja Namrud, berhijrah ke Palestin dan terpaksa meninggalkan isterinya Siti Hajar dan si anak Nabi Ismail. Dari situ ia menjadi titik permulaan pembukaan Kota Mekah dan mendirikan Kaabah seperti yang diperintahkan oleh Allah.
Sejurus pertemuan yang sungguh bermakna itu, baginda berjalan sehingga ke penghujung langit ketujuh.
Berubah bentuk
Di situ baginda melihat bagaimana malaikat Jibrail yang menyerupai manusia berubah kepada bentuk asalnya. Bentuk yang sama seperti yang baginda pernah temui buat pertama kali semasa berjalan ke pulang ke rumah dari Gua Hira'.
Kebenaran perkara ini tidak dapat disangkal. Ia benar-benar terjadi sebagaimana yang disebut dalam al-Quran, iaitu ayat 13 hingga 18 surah an-Najm yang bermaksud: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibrail itu dalam rupanya yang asli iaitu berdekatan dengan Sidratul Muntaha, yang juga berdekatan dengan syurga al Makwa, (Muhammad melihat Jibrail) ketika di Sidratul Muntaha dilitupi oleh sesuatu yang melitupinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-Nya yang paling besar.
Selain bagi mengesahkan pertemuan Nabi Muhammad dengan malaikat Jibrail pada rupanya yang asal, ayat ini juga sebagai mengesahkan mengenai pertemuan agung antara Nabi SAW dengan Allah Rabbul Jalil secara bersemuka.
Inilah keistimewaan Nabi Muhammad dapat bertemu dengan Allah dalam keadaan jaga dan bersemuka walaupun pertemuan tersebut tidak turut dihadiri oleh malaikat Jibrail.
Sebelum itu Jibrail telah meminta Nabi Muhammad mara ke hadapan iaitu memasuki Sidratul Muntaha, tempat sangat luar biasa yang tidak akan mampu terfikir oleh manusia biasa.
Apabila Nabi Muhammad turut mengajak malaikat Jibrail untuk bersama-sama dengan baginda, Jibrail berkata: "Kalau aku selangkah mara ke hadapan, maka aku akan hangus terbakar."
Lalu di hadapan Allah itu yang dikatakan jaraknya hanyalah 'dua busur panah' atau lebih dekat lagi dari itu, Nabi Muhammad diperintahkan sembahyang 50 waktu sehari semalam.
Iaitu ibadat menyembah-Nya untuk dilakukan oleh Nabi Muhammad dan seluruh umat baginda setiap hari.
Berbanding ibadat lain yang difardukan melalui turunnya wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibrail namun ibadat solat adalah perintah secara langsung daripada Allah.
Sebab itu di hari kiamat perkara pertama yang ditanyakan oleh Allah terhadap setiap individu umat Islam ialah mengenai perihal solatnya.
Segala amalan kebaikan dan kebajikan yang lain seolah-olah tidak bermakna jika seseorang itu mengabai dan meninggalkan solat secara sengaja.
Selepas pertemuan itu, Nabi Muhammad pun turun ke langit ke enam dan bertemu semula dengan Nabi Musa yang bertanyakan mengenai hasil pertemuan baginda dengan Allah.
"Apa yang Allah perintahkan untuk umat kamu wahai Muhammad," tanya Nabi Musa.
"Allah memerintahkan aku dan umatku supaya mendirikan solat 50 fardu waktu sehari semalam," jawab Nabi Muhammad.
Musa pun berkata lagi: "Kaum Israel pernah diperintahkan kurang daripada itu tetapi itupun mereka tidak mampu laksanakan. Kamu naiklah lagi dan minta Allah ringankan (kurang jumlah fardu) solat itu."
Sesetengah riwayat menceritakan baginda terpaksa berulang kali menemui Allah semula bagi tujuan untuk meringankan jumlah fardu solat itu. Sehinggalah akhirnya ditetapkan ibadat solat itu difardukan lima kali sehari tanpa boleh dikurangkan lagi.
Itupun Nabi Musa tetap menggesa Nabi Muhammad dikurangkan lagi lima waktu itu.
Lalu baginda pun berkata: "Aku rasa malu dengan tuhanku, namun aku reda dan aku menyerah diri."
Sepanjang mikraj itu juga Nabi Muhammad diperlihatkan dengan pelbagai kehidupan di alam akhirat, iaitu alam yang kekal bakal didiami oleh seluruh umat manusia.
Turut diperlihatkan ialah pelbagai gambaran bentuk pembalasan terhadap apa juga amalan yang dilakukan oleh manusia semasa hidup mereka di dunia.
Namun yang paling berkesan pada baginda yang diceritakan kepada para pengikutnya ialah mengenai gambaran syurga dan neraka.
Apa pun gambaran mengenai syurga dan neraka tersebut, namun yang jelas kedua-duanya wujud di akhirat sebagaimana yang disebut berkali-kali dalam al-Quran.
Namun itu pun masih tidak dapat dipercayai oleh sesetengah pihak.
Jadi apabila Nabi Muhammad telah melihatnya sendiri dengan mata kepala baginda, adakah kita masih tidak mempercayainya lagi?
SUSUNAN SITI AINIZA KAMSARI


Analisis framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat mengungkap rahasia dibalik sebuah perbedaaan bahkan pertentangan media dalam mengungkapkan fakta. Analisis framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Dengan demikian realitas sosial dipahami, dimaknai, dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Elemen-elemen tersebut bukan hanya bagian dari teknis jurnalistik, melainkan menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan. Inilah sesungguhnya sebuah realitas politik, bagaimana media membangun, menyuguhkan, mempertahankan, dan mereproduksi, suatu peristiwa kepada pembacanya. Melalui analisis framing akan dapat diketahui siapa menendalikan siapa, siapa lawan siapa, mana kawan mana lawan, mana patron dan mana klien, siapa diuntungkan dan siapa dirugikan, siapa menindas dan siapa tertindas, dst. Kesimpulan-kesimpulan seperti ini sangat mungkin diperoleh karena analisis framing merupakan suatu seni-kreativitas yang memiliki kebebasan dalam menafsirkan realitas dengan menggunakan teori dan metodologi tertentu. Ada dua esensi utama dari analisis framing yaitu, Pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan.
  • AKAR HISTORIS ANALISIS FRAMING.
Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan ktegori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Namun, kemudian pengertian framing berkembang yaitu ditafsirkan untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi.
Analisis framing sebagai suatu metode analisis isi media, terbilang baru. Ia berkembang terutama berkat pandangan kaum konstruksionisme. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Beger bersama Thomas Luckman, yang banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial dan realitas. Tesis utamadari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah tidak juga sesuatu yang diturunkan Tuhan, tetapi ia dibentuk dan direkonstruksi. Dengan pemahaman seperti itu, realitas berwajah ganda / plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas dapat merupakan realitas subyektif dan realitas objektif. Realitas subyektif, menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antar individu dengan objek. Sedangkan realitas objektif, merupakan sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan.
Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses ekternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu pada tabel berikut:
Penilaian
Paradigma Konstruksionis
Paradigma Positivis
Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu. Ada fakta yang “riil” yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal.
Media adalah agen konstruksi. Media sebagai agen konstruksi pesan. Media sebagai saluran pesan.
Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk nerupakan konstruksi atas realitas. Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.
Berita bersifat subyektif/konstruksi atas realitas. Berita bersifat subyektif, opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subyektif. Berita bersifat oyektif, menyingkirkan opini dan pandangan subyektif dari pembuat berita.
Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial. Wartawan sebagai pelapor.
Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa. Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada diluar proses peliputan berita.
Etika, dan pilihan moral peneliti, menjadi bagian yang integral dalam penelitian. Nilai, etika, dan pilihan moral bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Nilai, etika, dan pilihan moral harus berada di luar proses penelitian.
Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Khalayak mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita. Berita diterima sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat berita.
Karakteristik penelitian isi media yang berkatagori konstruksionis terutama dilakukan dengan melakukan pembedaan dengan paradigma positivis, yaitu pada tabel berikut:
Penilaian
Paradigma Konstruksionis
Paradigma Positivis
Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial Rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti. Eksplanasi, prediksi, dan kontrol.
Peneliti sebagai fasilitator keragaman subyektifitas sosial. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial. Peneliti berperan sebagai disinterested scientist.
Makna suatu teks adalah hasil negosiasi antara teks dan peneliti. Negosiasi; makna adalah hasil dari proses saling mempengaruhi antara teks dan pembaca. Makna bukan ditransmisikan, tetapi dinegosiasikan. Transmisi; makna secara inheren ada dalam teks, dan ditransmisikan kepada pembaca.
Penafsiran bagian yang tak terpisahkan dalam analisis. Subyektif; penafsiran bagian tak terpisahkan dari penelitian teks. Bahkan dasar dari analisis teks. Obyektif; analisis teks tidak boleh menyertakan penafsiran atau opini peneliti.
Menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti— teks. Reflektif/dialektik; menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti—teks untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif. Intervensionis; pengujian hipotesis dalam struktur hipoteticodeductive method. Melalui lab eksperimen atau survai eksplanatif, dengan analisis kuantitatif.
Kualitas penelitian diukur dari otentisitas dan refleksivitas temuan. Kriteria kualitas penelitian; otentisitas dan refleksivitas, sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas dihayati oleh para pelaku sosial. Kriteria kualitas penelitian; obyektif, validitas, dan reliabilitas (internal dan eksternal).
  • LANDASAN TEORITIK ANALISIS FRAMING
    • § Perspektif Komunikasi
Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Oleh karena itu, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, dan tak terelakkan.
  • § Perspektif Sosiologi
Secara sosiologis, konsep frame analysis ialah memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya. Skemata interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasikan, dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta informasi.
  • Perspektif Psikologi
Framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu dalam penarikan kesimpulan.
  • Perspektif Disiplin Ilmu Lain
Konsepsi framing terkesan tumpang tindih. Fungsi frames kerap dikatakan sebagai struktur internal dalam pikiran dan perangkat yang dibangun dalam wacana politik.
  • KONSEP ANALISIS FRAMING
Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melingkupinya.
  • Gamson dan Modigliani
Frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.
Berdasarkan konsepnya, Gamson mendefinisikan framing dalam dua pendekatan yaitu,
  1. Pendekatan kultural dalam level kultural, frame pertama-tama dapat dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana.
  2. Pendekatan psikologis dalam level individual, individu selalu bertindak  atau mengambil keputusan secara sadar, rasional, dan intensional. Individu selalu menyertakan pengalaman hidup, wawasan sosial, dan kecenderungan psikologisnya dalam menginterpretasi pesan yang ia terima.
  • Gitlin
Frame sebagai seleksi, penegasan, dan eksklusi yang ketat. Ia menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi berita.
Konsepsi framing dari para konstruksionis dalam literatur sosiologi ini memperkuat asumsi mengenai proses kognitif individual—penstrukturan representasi kognitif dan teori proses pengendalian informasi—dalam psikologi.
  • Entman
Melihat Framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya, dan dibuangnya. Di balik semua itu, pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita. Framing memiliki impilkasi penting bagi komunikasi politik. Sebab framing memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuasaan politik, dan frame dalam teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak—ia menunjukkan identitas para aktor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks.  Konsep framing menurut Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication text. Framing analysis dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer informasi dari sebuah lokasi, seperti pidato, ucapan/ungkapan, news report, atau novel. Framing, scara esensial meliputi penseleksian dan penonjolan. Membuat frame adalah menseleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman realitas, dan membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehinggamempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral, dana atau merekomendasikan penanganannya.
  • G.J. Aditjondro
Mendefinisikan framing sebagai metode penyaajian realitas dimana kebenaran, tentang suatu kejadian, tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Proses framing menjadikan media massa sebagai arena dimana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca.
Pada umumnya, terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan pekerja media massa, khususnya oleh komunikator massa, tatkala melakukan konstruksi realitas politik yang berujung pada pembentukan makna atau citra mengenai sebuah kekuatan politik, yaitu:
  1. Dalam hal pilihan kata (simbol) politik. Dalam komunikasi politik, para komunikator bertukar citra-citra atau makna-makna melelui lambang. Mereka saling menginterpretasikan pesan-pesan (simbol-simbol) politik yang diterimanya.
  2. Dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Untuk kepentingan pemberitaan, komunikator massa seringkali hanya menyoroti hal-hal yang “penting” (mempunyai nilai berita) dari sebuah peristiwa politik. Ditambah pula dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan (menarik keuntungan atau pihak mana yang diuntungkan) dengan berita tersebut.
  3. Menyediakan ruang atau waktu untuk sebuah peristiwa politik. Justru hanya jika media massa memberi tempat pada sebuah peristiwa politik, maka peristiwa akan memperoleh perhatian dari masyarakat. Semakin besar tempat yang diberikan semakin besar pula perhatian yang diberikan oleh khalayak. Pada konteks ini media massa memiliki fungsi agenda setter sebagaimana yang dikenal dengan teori Agenda Setting.
  • PERBEDAAN KARAKTERISTIK ANALISIS FRAMING DENGAN ANALISIS WACANA KRITIS
Analisis Framing:
ü  Pusat perhatiannya adalah pembentukan pesan teks.
ü  Melihat bagaimana pesan atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyampaikannya kepada khalayak pembaca.
ü  Konstruksi makna cenderung bersifat simbolis, laten dan pervasif.
ü  Teks berita mengandung sejumlah perangkat retoris yang akan berinteraksi dengan memori khalayak dalam proses konstruksi makna.
ü  Tujuannya menangkap bentuk konstruksi media terhadap realitas yang disajikan sebagai berita.
ü  Kajiannya mengkaji masalah sintaksis, semantik, skrip, tematik, retoris, skema, detail, nominalisasi antarkalimat, kata ganti leksikon, grafis, metafor, pengandaian, dsb.
Analisis Wacana Kritis:
ü  Lebih menekankan pada pemaknaan teks yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Setiap teks dimaknai secara berbeda dan ditafsirkan secara beragam.
ü  Berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Makna suatu pesan tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak dalam teks, namun harus dianalisis dari makna yang tersembunyi.
ü  Bukan hanya kata, atau aspek isi lainnya yang dikodekan, tetapi struktur wacana yang kompleks pun dapat dianalisis pada berbagai tingkatan deskripsi. Bahkan makna kalimat dan relasi koheren antarkalimat pun dipelajari.
ü  Tidak berpretensi melakukan generalisasi dengan beberapa asumsi. Karena setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat diperlakukan prosedur yang sama yang diterapkan untuk isu dan kasus yang berbeda.
ü  Tujuannya menggali bagaimana “pemakaian bahasa” dalam tuturan atau tulisan sebagai bentuk praktek sosial, termasuk di dalamnya praktek kekuasaan.
ü  Kajiannya mengkaji wacana, ideologi, representasi, struktur, kognisi sosial, teks, konteks, dsb
  • TEKNIK ANALISIS FRAMING
Secara teknis, tidak mungkin bagi seorang jurnalis untuk mem-framing seluruh bagian berita. Artinya, hanya bagian dari kejadian-kejadian penting dalam sebuah berita saja yang menjadi objek framing jurnalis. Namun, bagian-bagian kejadian penting ini sendiri merupakan salah satu aspek yang sangat ingin diketahui khalayak. Aspek lainnya adalah peristiwa atau ide yang diberitakan.
  • Entman
Framing dalam berita dilakukan dengan empat cara yaitu:
  1. Identifikasi masalah (problem identification),
Peristiwa dilihat sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa.
  1. Identifikasi penyebab masalah (causal interpretation),
Siapa yang dianggap penyebab masalah.
  1. Evaluasi moral (moral evaluation),
Penilaian atas penyebab masalah.
  1. Penanggulangan masalah (treatment recommendation),
Menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadangkala memprediksikan hasilnya.
  • Abrar
Pada umumnya terdapat empat teknik mem-framing berita yang dipakai wartawan yaitu:
  1. Ketidaksesuaian sikap dan perilaku (cognitif dissonance)
    1. Empati (membentuk “pribadi khayal”
    2. Daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan (Packing)
    3. Menggabungkan kondisi, kebijakan, dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita (Asosiasi)
Sekurangnya, ada tiga bagian berita yang bisa menjadi objek framing seorang wartawan, yaitu, judul berita, fokus berita dan penutup berita.
ü  Judul berita di-framing dengan menggunakan teknik empati yaitu menciptakan “pribadi khayal” dalam diri khalayak, sementara khalayak diangankan menempatkan diri mereka seperti korban kekerasan atau keluarga dari korban kekerasan, sehingga mereka bisa merasakan kepedihan yang luar biasa.
ü  Fokus berita di-framing dengan menggunakan teknik asosiasi, yaitu menggabungkan kebijakan aktual dengan fokus brita. Kebijakan yang dimaksud adalah penghormatan terhadap perempuan. Untuk itu, wartawan perlu mengetahui secara persis kondisi riil pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
ü  Penutup berita di-framing dengan menggunakan teknik packing, yaitu menjadikan khalayak tidak berdaya untuk menolak ajakan yang dikandung berita. Sebab mereka tidak berdaya sama sekali untuk membantah kebenaran yang direkonstruksikan berita.
  • Gamson
  1. Level Kultural
Identifikasi dan kategorisasi terhadap proses pengulangan, penempatan, asosiasi, dan penajaman kata, kalimat, dan proposisi tertentu dalam wacana. Selain itupula, dapat dilakukan dengan membedah sisi retoris suatu wacana, yaitu dengan menganalisis dan mengidentifikasi kata, kunci, metafor, frase, popular wisdom, silogisme, dan perangkat-perangkat simbolik lain yang ada di dalamnya.
  1. Level Individu
Konsep frame-resonance, yaitu tingkat keselarasan antara frame yang muncul dalam wacana tekstual dengan respon interpretatif khalayak. Untuk mengukur frame-resonance, serta untuk mengetahui tingkat keseragaman atau keberagaman schemata awak media, analisis framing perlu dilakukan sampai pada tingkat individu. Analisis framing terhadap schemata individu ini bisa dilakukan dengan polling atau wawancara komprehensif.
  • EFEK FRAMING
Salah satu efek framing yang paling mendasar ialah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menyediakan kunci bagaimana peristiwa dipahami oleh media dan ditafsirkan ke dalam bentuk berita. Karena media melihat peristiwa dari kacamata tertentu maka realitas setelah dilihat oleh khalayak adalah realitas yang sudah dibentuk oleh bingkai media.
  1. Menonjolkan Aspek Tertentu-Mengaburkan Aspek Lain
Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam penulisan  sering disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
  1. Menampilkan Sisi Tertentu-Melupakan Sisi Lain
Dengan menampilkan aspek tertentu dalam suatu berita menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapatkan liputan yang memadai dalam berita.
  1. Menampilkan Aktor Tertentu-Menyembunyikan Aktor
Berita seringkali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu saja tidak salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan menjado tersembunyi.
  1. A.   Mobilisasi Massa
Framing atau isu umumnya banyak dipakai dalam literatur gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Itu seringkali ditandai dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama. Hanya dengan itu, khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Semua itu membutuhkan frame bagaimana isu dikemas, bagaimana peristiwa dipahami, dan bagaimana pula kejadian dimaknai dan didefinisikan.
  1. B.   Menggiring Khalayak Pada Ingatan Tertentu
Individu mengetahui peristiwa sosial dari pemberitaan media. Karenanya, perhatian khalayak, bagaimana orang mengkonstruksi realitas sebagian besar berasal dari apa yang diberitakan oleh media. Media merupakan tempat dimana khalayak memperoleh informasi mengenai realitas politik dan sosial terjadi di sekitar mereka, Karena itu, bagaimana media membingkai realitas tertentu berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa tersebut.Dengan kata lain, frame yang disajikan oleh media ketika memaknai realitas mempengaruhi bagaimana khalayak menagsirkan peristiwa. Membayangkan efek framing pada individu semacam ini, bukan berarti mengandalkan individu adalah makhluk yang menafsirkan realitas politik adalah makluk yang pasif. Sebaliknya, ia adalah entitas yang aktif  menafsirkan realitas politik. Pemahaman mereka atas realitas politiik terbentuk dari apa yang disajikan oleh media dengan pemahaman dan predisposisi mereka atas suatu realitas. Hubungan transaksi antara teks dan personal ini melahirkan pemahaman tertentu atas suatu realitas.
  • MODEL-MODEL ANALISIS FRAMING
Pan dan Gerald M. Kosicki
Mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing yaitu, sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita—kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu—ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.
 KERANGKA FRAMING PAN DAN KOSICKI
STRUKTUR
PERANGKAT FRAMING
UNIT YANG DIAMATI
 SINTAKSISCara wartawan menyusun fakta 1.  Skema berita  Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyataan, penutup
 SKRIPCara wartawan mengisahkan fakta  2.  Kelengkapan berita 5W+1H
 TEMATIKCara wartawan menulis fakta
  1. Detail
  2. Maksud kalimat, hubungan
  3. Nominalisasi antarkalimat
  4. Koherensi
    1. Bentuk kalimat
    2. Kata ganti
Paragraf, proposisi
 RETORISCara wartawan menekankan fakta 
  1. Leksikon
  2. Grafis
  3. 11.  Metafor
    1. 12.  Pengandaian
Kata, idiom, gambar/foto, grafik
William A. Gamson dan Andre Modigliani
Didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media—berita dan artikel, terdiri atas package interaktif yang mengandung makna tertentu. Di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condesnsing symbols. Struktur pertama merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang tengah dibicarakan. Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua substruktur, yaitu framing devices dan reasoning devices. Frame merupakan inti sebuah unit besar wacana publik yang disebut package. Framing analysis yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami wacana media sebagai satu gugusan perspektif interpretasi (interpretatitif package) saat mengkonstruksi dan memberi makna suatu isu.
  • Core Frame (gagasan sentral)
Berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa, dan mengarahkan makna isu—yang dibangun condesing symbol (simbol yang “dimampatkan”
  • Condensing Symbol
Pencermatan terhadap interaksi perangkat simbolik (framing devices dan reasoning devices) sebagai dasar digunakannya perspektif. Simbol dalam wacana terlihat transparan bila dalam dirinya menyusup  perangkat bermakna yang mampu berperan sebagai panduan menggantikan sesuatu yang lain.
Struktur framing devices yang mencakup metaphors, exemplars, catchphrases, depictions, dan visual images menekankan aspek bagaimana “melihat” suatu isu.
  • Metaphors
Cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. Metafora berperan ganda; pertama, sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi piranti mental; kedua, berasosiasi dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu.
  • Exemplars
Mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran. Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.
  • Catchpharases
Bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu. Dalam teks berita, catchphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.
  • Depictions
Penggambaran fakta dengan memakai istilah, kata, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik. Depictions dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi.
  • Visual Images
Pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan sejenisnya untuk menekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna. Visual images bersifat  sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak.
Struktur reasoning devices menekankan aspek pembenaran terhadap cara “melihat” isu, yakni roots (analisis kausal) dan appeals to principle (klaim moral).
  • Roots (analisis kausal)
Pembenaran isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasar hubungan sebab-akibat yang digambarkan atau dibeberkan.
  • Appeal to Principle (klaim moral)
Pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran, dan sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatis, simplistik, dan monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain.
Murray Edelman
Apa yang kita ketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung pada bagaimana kita membingkai dan mengkonstruksi/menafsirkan realitas. Edelman mensejajarkan framing sebagai kategorisasi pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami.  Salah satu gagasan utama dari Edelman ialah dapat mengarahkan pandangan khalayak akan suatu isu dan membentuk pengertian mereka akan suatu isu. Elemen penting dalam melihat suatu peristiwa ialah bagaimana orang membuat kategorisasi atas suatu peristiwa melalui kategorisasi hendak ke mana sebuah peristiwa diarahkan dan dijelaskan.
  • Kategorisasi
Merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran. Kategori merupakan alat bagaimana rtelaitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak. Kategori merupakan kekuatan yang besar dalam mempengaruhi pikiran dan kesadaran publik, sebab kategori lebih menyentuh, lebih substil, dan lebih mengena alam bawah sadar.
  • Kesalahan Kategorisasi
Seringkali terjadi kategori yang dipakai dalam mendefinisikan peristiwa itu salah atau menipu khalayak. Peristiwa dibungkus dengan kategori tertentu menyebabkan khalayak tidak bisa menerima informasi sebenarnya. Peristiwa tertentu yang dikategorisasikan dan dibingkai dengan cara tertentu, mempengaruhi bagaimana peristiwa dipahami.
  • Rubrikasi
Merupakan salah satu aspek kategorisasi yang penting dalam pemberitaan. Bagaimana suatu peristiwa di kategorisasikan dalam rubrik- rubrik tertentu. Rubrikasi harus dipahami sebagai bagian dari bagaimana fakta diklasifikasikan dalam kategori tertentu. Pendefinisian suatu realitas sosial, secara sederhana dalam strategi pemberitaan dan proses pembuatan berita, dapat dilihat dari bagaimana peristiwa dan fakta di tempatkan dalam rubrik tertentu. Rubrikasi menentukan bagaimana peristiwa dan fenomena harus dijelaskan. Rubrikasi ini bisa jadi miskategorisasi- peristiwa yang seharusnya dikategorisasikan dalam satu kasus, tetapi karena masuk dalam rubrik tertentu akhirnya dikategorisasikan dalam rubrik tertentu. Klasifikasi menentukan dan memepengaruhi emosi khalayak ketika memandang atau melihat suatu peristiwa. Bagaimana publik mempersepsi realitas dengan bantuan kategori atau klasifiksi yang telah dibuat.
  •   Kategorisasi dan Ideologi
Dalam pandangan Edelman, kategorisasi berhubungan dengan ideologi. Bagaimana realitas diklasifikasikan dan dikategorisasikan, diantaranya ditandai dengan bagaimana kategorisasi tersebut dilakukan. Kategorisasi bukan representasi dari realitas. Pada dasarnya kategorisasi merupakan kreasi kembvali yang penting agar tampak wajar dan rasional, yaitu dengan pemakaian kata- kata terentu yang mempengaruhi bagaimana realitas atau seseorang dicitrakan uang pada akhirnya membentuk pendapat umum mengenai suatu peristiwa atau masalah. Pemakaian bahasa tertentu memperkuat pandangan seseorang, prasangka, dan kebencian tertentu.
Robert N Entman
Konsep framing oleh Entman untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang dianggap penting atau ditonjolkan oleh pembuat teks. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek- aspek tertentu dari realitas atau isu. Dalam prakteknya framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain. Serta menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai stategi wacana, misalnya isu ditempatkan pada headline depan, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, dan pemakaian label tertentu dan lain sebagainya. Perangkat framing dapat digambarkan sebagai berikut:
Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta dari realitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan?
Penonjolan aspek tertentu dari isu Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa atau isu tersebut telah dipilih, bagaiman aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan pada khalayak.
Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan definisi, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut:
Define problems (pendefinisain masalah) Bagaimana suatu peristiwa / isu dilihat ? sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?
Diagnose causes(memperkirakan masalah atau sumber masalah) Sebagai penyebab dari suatu masalah, siapa atau aktor yang dianggap sebagai penyebab mereka?
Make moral judgement(membuat keputusan moral) Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?
Treatment recomendation (menekankan penyelesaian) Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/ isu ? jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah
  • PERBANDINGAN DAN KEISTIMEWAAN MODEL-MODEL ANALISIS FRAMING
Model-model framing di atas mempunyai kesamaan , yaitu secara umum membahas mengenai bagaimana media membentuk konstruksi atas realitas, menyajikannya dan menampilkannya kepada khalayak.  Model-model tersebut mempunyai beragam cara dan pendekatan.  Mengutip Jisuk Woo, paling tidak ada tiga kategori dasar elemen framing.  Pertama, level makrostruktural.  Level ini dapat dilihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana.  Kedua, level mikrostruktural.  Elemen ini memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa tersebut ditonjolkan dan bagian mana yang dilupakan/dikecilkan.  Ketiga, elemen retoris.  Elemen ini memusatkan perhatian pada bagaimana fakta ditekankan.
Perbandingan di antara model-model tersebut diantaranya; model Entman dan Edelman, tidak merinci secara detil elemen retoris.  Meskipun dalam tingkatan analisisnya mereka menunjukkan bagaimana kata, kalimat atau gambar dapat dianalisis sebagai bagian integral memahami frame, tetapi mereka tidak mengajukan gambaran detail mengenai elemen retoris tersebut.  Model mereka terutama bergerak pada level bagaimana peristiwa dipahami dan bagaimana pemilihan fakta yang dilakukan oleh media.
Model dan Pan dan Kosicki, disertakan dalam unit analisis mereka apa saja elemen retoris yang perlu diperhatikan untuk menunjukkan perangkat framing. Model Gamson yang banyak ditekankan adalah penandaan dalam bentuk simbolik baik lewat kiasan maupun retorika yang secara tidak langsung mengarahkan perhatian khalayak. Model Pan dan Kosicki banyak diadaptasi pendekatan linguistik dengan memasukkan elemen seperti pemakaian kata, menulis struktur dan bentuk kalimat yang mengarahkan bagaiman peristiwa dibingkai media.

Makro struktural Mikro struktural Retoris
Murray Edelman          v         v
Robert N Entman          v         v
William Gamson          v         v        v
Zhong dang Pan dan Gerald M Kosicki          v         v        v

DAFTAR PUSTAKA

Eriyanto. 2002. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LkiS Yogyakarta. Yogyakarta.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Remaja Rosdakarya. Bandung. 

Teknik menulis artikel dengan rumus 5w + 1h dalam sebuah perbincangan, kawan saya mengatakan, menulis itu gampang-gampang susah, susah karena bingung bagaimana harus memulai, bingung tak tahu apa yang akan diceritakan, saya pun menyarankan agar ia menggunakan rumus 5W+1H sebagai panduan dalam menulis. Rumus ini mencakup What, Who, When, Where, Why, How, sebuah rumus penulisan yang berlaku universal dan mencakup hal-hal dasar yang harus dipenuhi untuk kelengkapan sebuah tulisan, berikut penjelasan detail mengenai Teknik Menulis Artikel dengan Rumus 5W + 1H

Teknik Menulis Artikel dengan Rumus 5W + 1H
Teknik Menulis Artikel dengan Rumus 5W + 1H

Teknik Menulis Artikel dengan Rumus 5W + 1H

Rumus 5W + 1H ini adalah pedoman dasar penulisan jurnalistik, namun tak salah jika digunakan pula dalam menulis konten blog. Penerapan rumus ini, cukup sederhana, yakni;
  • WHAT menyatakan apa yang ditulis, menentukan tema apa yang ingin ditulis, semisal tentang peristiwa di sekitar tempat tinggal, masalah sosial atau apapun yang menarik perhatian dan layak diketahui orang lain.
  • WHO menyatakan tokoh yang terlibat dalam topik yang ditulis. Bila tokoh itu tak cukup dikenal oleh pembaca, maka kewajiban penulis untuk “memperkenalkan” si tokoh dengan menjelaskan siapa dan apa perannya dalam peristiwa yang ditulis.
  • WHEN menyatakan waktu kejadian dari peristiwa yang diceritakan (WHAT). Jika itu sebuah peristiwa yang terjadi di sekitar tempat tinggal penulis, maka ceritakanlah kapan peristiwa itu terjadi.
  • WHERE menyatakan tempat terjadinya peristiwa. Keterangan tentang tempat ini dapat ditulis secara lengkap, misalnya dengan menyebutkan nama jalan, nama kota atau nama tempat lainnya agar mudah dikenali.
  • Sementara WHY menyatakan mengapa peristiwa itu terjadi. Dalam hal ini, mesti diceritakan apa yang menjadi latar belakang dari peristiwa, bisanya sisi inilah yang menjadi bagian paling menarik dari peristiwa.
  • Kemudian H adalah HOW yang menerangkan bagaimana peristiwa terjadi, paparannya mencakup proses terjadinya peristiwa secara kronologis.
Inilah unsur-unsur dasar yang patut dipenuhi agar tulisan lengkap dan informatif, jangan lupa ketepatan data dalam memenuhi unsur-unsur tulisan itu. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman akibat informasi yang kurang akurat.
Selanjutnya, memperhatikan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar, pilihan kata yang tepat, serta memparkan peristiwa secara detail agar tulisan yang dihasilkan informatif. Tambahkan pula data yang relevan agar informasi yang disajikan lebih akurat.
14 Nopember 2013
  1. Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa s
urat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
  1. Setelah Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
  1. Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti nama.
  1. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.
Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
  1. Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat luas.
Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut.
Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948 penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan.
Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti; kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
  1. Masa Orde Baru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur.
Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan percetakan koran bangsa Indonesia.
Matinya majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk.
Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan. Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos (Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.
Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
  1. Disiplin kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan.
  2. Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
  3. Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas tiap anggota.
Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.
Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ sendiri.
Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila.
Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers, masyarakat dan pemerintah.
  1. Masa Orde Baru dan Era Reformasi
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers.
Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab sosial.
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.