my sense of imagination

ads1

Jumat, 21 Maret 2014


Oleh : Peter Russel
Dari buku The Mystery of 2012
Laju kehidupan semakin cepat. Terobosan-terobosan teknologi baru menyebar dengan cepat dalam beberapa tahun dan bukan lagi abad. Perhitungan yang dulunya memerlukan waktu beberapa dekade sekarang bisa dibuat hanya dalam beberapa menit. Komunikasi yang dulunya memakan waktu berbulan-bulan sekarang bisa terjadi dalam hitungan detik. Di hampir setiap bidang kehidupan, perubahan terjadi lebih cepat dan lebih cepat.
Namun, percepatan ini tidak terbatas pada zaman modern. Arsitektur dan pertanian Abad Pertengahan, misalnya, hanya bervariasi sangat sedikit selama jangka waktu satu abad. Tetapi perubahan yang terjadi pada masa itu masih jauh lebih cepat dibandingkan pada zaman prasejarah. Alat-alat pada Zaman Batu jika diteliti tetap tidak berubah selama ribuan tahun.
Percepatan ini tidak saja terbatas pada kemanusiaan, ini adalah pola yang membentang sejak awal kehidupan di Bumi. Bentuk kehidupan sederhana pertama berevolusi hampir empat miliar tahun yang lalu. Kehidupan multiselular muncul sekitar satu miliar tahun yang lalu. Vertebrata dengan sistem saraf pusat, muncul beberapa ratus juta tahun yang lalu. Mamalia muncul puluhan juta tahun yang lalu. Hominid pertama muncul di planet ini beberapa juta tahun yang lalu, homo sapiens, seratus ribu tahun yang lalu. Bahasa dan alat-alat yang digunakan muncul puluhan ribu tahun yang lalu. Peradaban, pergerakan ke kota-kota, dimulai beberapa ribu tahun yang lalu. Revolusi Industri dimulai tiga abad lalu. Akhirnya, Revolusi Informasi, baru dimulai beberapa dekade yang lalu.
Mengapa Evolusi semakin cepat?
Alasan percepatan ini adalah bahwa setiap perkembangan baru, bisa dikatakan, bertitik tolak dari apa yang telah ada sebelumnya. Sebuah contoh yang baik adalah munculnya reproduksi seksual sekitar 1,5 miliar tahun yang lalu. Sampai saat itu sel-sel, direproduksi dengan membelah diri menjadi dua, masing-masing menjadi “saudara” baru yang merupakan kloning yang persis sama dari aslinya. Dengan adanya reproduksi seksual, dua sel berkumpul bersama, berbagi informasi genetik dan menghasilkan keturunan yang berisi kombinasi dari gen mereka. Jadi tidak lagi membutuhkan banyak generasi untuk memunculkan satu perbedaan genetik. Perbedaan itu sekarang bisa terjadi di setiap generasi, yang akan mempercepat evolusi ribuan kali.
Sebuah contoh yang lebih baru adalah transisi dari Era Industri ke Era Informasi. Ketika kita ingin memproduksi komputer misalnya, kita tidak perlu lagi menemukan sistem pabrik atau sistem distribusi global; keahlian itu sudah ada. Kita hanya perlu untuk mengaplikasikannya pada produksi komputer kita. Dengan demikian Revolusi Informasi yang diperoleh sendiri jauh lebih cepat.
Pola ini akan terus berlanjut pada masa depan. Tiap fase baru memerlukan waktu yang lebih sedikit daripada yang dibutuhkan pada tahap sebelumnya. Di masa depan, kita bisa memperkirakan jumlah yang sama perubahan yang telah kita lihat dalam dua puluh tahun terakhir terjadi pada beberapa tahun bukan dekade mendatang.
Karena itu sangat sulit untuk memprediksi dunia akan seperti apa dalam sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Dua ratus tahun yang lalu tidak ada seorang pun membayangkan kita akan memiliki telepon atau film, apalagi telepon seluler atau internet. Tiga puluh tahun yang lalu, sangat sedikit dari kita memiliki gagasan tentang Web WorldWide, atau tentang bagaimana hal itu secara dramatis akan mengubah kehidupan kita. Demikian pula, siapa yang mengetahui apa terobosan atau perkembangan baru yang akan mengubah kehidupan kita sepuluh tahun dari sekarang?
Mendekati sebuah Singularitas
Jadi kemana semua ini akan dibawa? Beberapa orang berpikir kita akan menuju apa yang disebut “singularitas.” Ini adalah istilah yang diberikan oleh para matematikawan pada titik ketika suatu persamaan berhenti dan berhenti untuk memiliki arti. Aturan berubah dan sesuatu yang sama sekali berbeda akan terjadi.
Sebuah contoh sederhana dari singularitas terjadi jika Anda mencoba untuk membagi sebuah angka dengan nol. Jika Anda membagi dengan angka yang lebih kecil dan lebih kecil, hasilnya akan menjadi angka yang lebih besar dan lebih besar. Tapi jika Anda membagi sesuatu angka dengan nol Anda mendapatkan angka tak terhingga, yang bukan angka dalam arti sehari-hari. Persamaan tersebut kemudian berhenti.
Gagasan bahwa mungkin ada singularitas dalam perkembangan manusia pertama kali diusulkan oleh matematikawan Vernor Vinge, dan kemudian oleh ilmuwan lain, terutama Ray Kurzweil dalam bukunya The Singularity Is Near. Mereka berpendapat bahwa jika daya komputasi terus meningkat dua kali lipat setiap delapan belas bulan, seperti yang telah terjadi selama lima puluh tahun terakhir, maka suatu waktu di tahun 2020-an akan ada komputer yang dapat menyamai kinerja otak manusia. Dari sana, itu hanyalah sebuah langkah kecil untuk sebuah komputer yang dapat melampaui otak manusia. Dari sana kemudian akan ada rancangan komputer masa depan kita; mesin ultra-cerdas yang akan dapat merancang yang lebih baik, dan melakukannya lebih cepat dari manusia.
Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah pertanyaan besar. Beberapa mengusulkan bahwa manusia akan menjadi makhluk yang kurang berdaya guna; mesin akan menjadi pelopor evolusi. Orang lain berpikir akan ada penggabungan kecerdasan manusia dan mesin- yang mendownload pikiran kita ke dalam komputer, mungkin. Satu-satunya hal yang kita yakin bisa memprediksi adalah bahwa ini akan menjadi pemberhentian yang lengkap dari pola masa lalu. Evolusi akan berpindah ke dalam sebuah dunia baru yang radikal.
Tetapi transisi ini, sebesar apapun ia akan menjadi, belum menjadi sebuah singularitas dalam arti matematis. Evolusi-baik manusia, mesin, atau sintesis dari keduanya -akan terus bergerak dengan kecepatan yang terus meningkat. Rentang waktu perkembangan akan terus semakin mempersingkat, dari puluhan tahun menjadi beberapa tahun, dari bulan, ke hari. Tak lama kemudian, mereka akan mendekati nol. Tingkat perubahan akan menjadi tak terbatas. Maka kita telah mencapai singularitas matematika sejati.
Timewave Zero dan 2012
Gagasan bahwa umat manusia sedang menuju titik perubahan yang cepat tidak terhingga telah dieksplorasi oleh Terence McKenna dalam bukunya The Invisible Landscape. Ia mengembangkan fungsi fraktal matematis, yang disebut “Timewave”, yang tampaknya cocok dengan tingkat keseluruhan Ingression of novelty di dunia. (“Ingression of novelty” adalah istilah yang diciptakan oleh filsuf Alfred North Whitehead untuk menunjukkan bentuk-bentuk baru atau perkembangan baru yang diwujudkan). Timewave Ini bukan sebuah kurva yang mulus, tapi kurva yang memiliki puncak dan palung yang berhubungan dengan puncak dan lembah dari tingkat percepatan perwujudan di seluruh sejarah manusia.
Karakteristik yang paling signifikan dari Timewave McKenna adalah bahwa bentuk itu selalu berulang, tapi intervalnya menjadi lebih pendek dan waktunya lebih singkat. Kurva itu menunjukkan lonjakan terhadap hal baru sekitar 500 SM, ketika Lao Tsu, Plato, Zoroaster, Buddha, dan yang lainnya mengerahkan pengaruh besar pada ribuan tahun yang akan datang. Sifat berulang dari Timewave McKenna’s menunjukkan pola yang sama terjadi di akhir 1960-an, di mana hal itu terjadi enam puluh empat kali lebih cepat. Pada tahun 2010, pola ini mengulangi lagi, masih enam puluh empat kali lebih cepat. Dan kemudian, pada tahun 2012, masih enam puluh empat kali lebih cepat. Skala waktu ini dikompresi dari bulan ke minggu, ke hari, dan cenderung menjadi sangat cepat hingga ke titik nol: titik yang disebut McKenna sebagai “Timewave Zero.”
Tetapi kapan tepatnya tanggal ini? McKenna bereksperimen dengan menggeser kurva ke atas dan ke bawah dari sejarah untuk mencari tanggal yang paling cocok. Akhirnya, ia memilih tanggal 22 Desember 2012. Pada waktu itu, dia belum mengetahui bahwa Kalender Maya juga akan mengakhiri siklus 5.124 tahun yang terjadi satu hari sebelumnya. McKenna sendiri tidak terlalu melekat ke tanggal tersebut, ia mengaku bahwa ia akan tertarik, menyongsong tahun 2012, untuk melihat apakah dugaan tentang hal-hal baru yang tak terbatas ini memang akan terbukti benar. Sayangnya, ia meninggal dunia pada tahun 2000.
Secara pribadi, saya tidak begitu peduli dengan apa yang sebenarnya akan atau tidak akan terjadi pada tanggal tersebut tepat 21 Desember 2012. Memang, hampir setiap prediksi yang pernah dibuat yang berkaitan dengan tanggal tertentu biasanya gagal terwujud. Saya lebih tertarik pada pola mempercepat ini yang mungkin akan membawa kita pada perubahan yang radikal, dan apakah hal tersebut akan terjadi pada tahun 2012, atau waktu-waktu lain.
Batas Perubahan?
Seperti yang dieksplorasi dalam buku saya yang diterbitkan tahun 1992 The White Hole in Time (yang kemudian direvisi menjadi Waking Up in Time ), jika-percepatan perubahan terus berlanjut, kita tidak akan berkembang selama ribuan tahun ke depan. Kita bisa melihat keseluruhan evolusi masa depan kita- sebanyak-banyaknya perkembangan yang kita bisa membayangkan, bahkan lebih- yang dikompresi menjadi waktu yang sangat singkat. Dalam beberapa generasi, mungkin dalam masa hidup kita sendiri saat ini, kita bisa mencapai akhir perjalanan evolusi kita.
Banyak yang berpendapat bahwa ini tidak akan pernah terjadi karena ada batas untuk setiap tingkat perubahan. Setiap perkembangan pada akhirnya akan mencapai puncaknya, yang tidak menghasilkan kurva yang semakin keatas, tapi kemudian menurun membentuk kurva-S.
Pertumbuhan penduduk adalah sebuah contoh yang baik. Selama ribuan tahun populasi manusia telah berkembang, dan tumbuh lebih cepat dan lebih cepat. Seribu tahun yang lalu, populasi dunia berjumlah sekitar 310 juta. Jumlah ini meningkat dua kali lipat di tahun 1600. Pada tahun 1800, ia mendekati satu miliar, dan berlipat dalam 150 tahun kemudian. Pada tahun 1960, populasi telah mencapai empat miliar, berlipat hanya dalam kurun waktu tiga puluh tahun. Sejak itu, bagaimanapun, pertumbuhan penduduk kemudian mulai melambat, kurva sudah mulai menurun. Jika kecenderungan ini terus berlangsung populasi manusia mungkin akan menstabilkan diri antara 10 dan 12 miliar.
Kurva S serupa dapat ditemukan di hampir setiap bidang perkembangan. Sebagai contoh, produksi lokomotif uap meningkat pesat selama abad pertama dari Revolusi Industri, kemudian berkurang secara bertahap pada pertengahan abad kedua puluh ketika diesel dan tenaga listrik menjadi lebih dominan. Atau, mempertimbangkan pertumbuhan koneksi internet kecepatan tinggi di Amerika Serikat. Tingkat sambungan baru tumbuh pesat di tahun-tahun pertama abad ini, dan pada tahun 2005 lebih dari setengah dari seluruh rumah memiliki koneksi berkecepatan tinggi. Sekarang, ketika mencapai titik jenuh, laju pertumbuhan sambungan baru tersebut mulai melambat.
Namun, ketika kita berbicara tentang mempercepat laju keseluruhan dari perubahan, kita tidak berbicara tentang kurva-S biasa, namun tingkat di mana kurva-S itu berturut-turut menumpuk ke atas. Butuh ribuan tahun pertumbuhan penduduk  untuk mencapai titik balik. Revolusi Industri memerlukan waktu dua ratus tahun. Koneksi internet kecepatan tinggi kurang dari satu dekade. Jadi pertanyaannya bukanlah apakah setiap pertumbuhan tertentu terus meningkat selamanya, tapi apakah ada batas dari tingkat percepatan perubahan-apa pun media tersebut pada waktu tertentu.
Intelligensi yang Berkembang
Salah satu pola yang berulang yang mendasari evolusi adalah meningkatnya kompleksitas dalam pengolahan informasi. Kode DNA adalah sebuah basis data informasi, yang dibangun selama ribuan tahun. Reproduksi seksual merupakan terobosan evolusi dalam pengolahan informasi. Begitu pula dengan pengembangan indera, dan kemudian, sistem saraf pusat. Munculnya manusia-manusia yang membawa perkembangan penting lain dalam memproses informasi-bahasa simbolik- memungkinkan kita untuk berbagi pikiran dan pengalaman  satu sama lain. Selama bertahun-tahun, manusia telah melakukan terobosan besar dalam teknologi informasi- melalui tulisan, cetakan, telepon, radio, televisi, komputer, dan internet- yang secara konsisten meningkatkan kemampuan kita untuk mengumpulkan, mengolah, mengatur dan memanfaatkan informasi.
Organisasi dan penggunaan informasi adalah inti dari intelijen. Kita terbiasa berpikir tentang intelijen ini terutama dalam cara berpikir manusia, dan kadang-kadang pada hewan lain. Tapi intelijen dalam arti luas telah berkembang selama milyaran tahun. Apa yang terjadi hari ini dengan Revolusi Informasi kita sendiri saat ini hanyalah tahap terakhir dari proses yang telah berlangsung sejak kelahiran alam semesta.
Jadi pertanyaannya apakah batas dari kecepatan evolusi tidak ada hubungannya dengan batas-batas tertentu dalam setiap fase evolusi, apakah ada batas terhadap tingkat evolusi kecerdasan-apapun bentuknya yang mungkin akan terjadi. Sejauh yang saya lihat, tidak ada.
Di Balik Era Informasi
Perkembangan teknologi informasi telah membawa kita mempercepat waktu ketika semua pengetahuan manusia bisa langsung tersedia bagi siapa saja di planet ini, dalam media apapun. Ini akan menjadi otak global yang berfungsi penuh di mana teknologi informasi dari televisi, telepon, dan WorldWide Web akan secara mulus dan mudah diintegrasikan. Audio dan arsip video di dunia akan dengan mudah diakses dibangding teks dan gambar saat ini. Mesin pencari akan belajar dari interaksi mereka dengan orang-orang, dan menjadi semakin canggih dalam merespons. Kita akan selalu terhubung ke dalam pikiran global yang berkembang.
Pada titik ini, laju pertumbuhan pengetahuan manusia akan mencapai titik maksimumnya. Ini juga akan mulai berubah menjadi sebuah kurva-S. Tetapi pengetahuan bukanlah titik akhir dari evolusi intelijen. Banyak yang menunjuk ke sebuah struktur bertingkat yang berawal dari data, informasi, pengetahuan, dan kemudian kebijaksanaan. Informasi dapat didefinisikan sebagai pola yang dihasilkan dari data mentah. Pengetahuan adalah generalisasi dari informasi, yang melakukan pengujian terhadap semua informasi. Kebijaksanaan menentukan bagaimana pengetahuan akan digunakan. Yang melibatkan ketajaman dan evaluasi: Apakah keputusan ini membuat lebih baik atau lebih buruk? Apakah itu akan membantu atau menghalangi kesejahteraan masa depan kita?
Saat ini, manusia memiliki sejumlah besar pengetahuan, tetapi masih sangat sedikit memiliki kebijaksanaan. Tanpa mengembangkan kebijaksanaan, sangat tidak mungkin kita akan menghindari bencana. Ketika filsuf-penemu, Buckminster Fuller berulang kali menekankan, bahwa kita akan menghadapi ujian akhir evolusi kita. Apakah spesies manusia mampu untuk terus bertahan hidup? Dapatkah kita terbangun sehingga kita dapat menggunakan kekuatan yang luar biasa kita demi kebaikan semua, dan untuk generasi yang akan datang?
Spesies yang Setengah Terjaga
Bahasa-bahasa simbolis membawa langkah yang sangat signifikan dalam kecerdasan manusia. Kita menggunakan bahasa tidak hanya untuk berkomunikasi satu sama lain, tetapi juga di dalam pikiran kita sendiri, yaitu berpikir verbal. Dengan kekuatan ini kita bisa merenungkan pengalaman kita dan merencanakan masa depan kita. Selain itu, kita bisa merenungkan kenyataan bahwa kita sadar. Kita menjadi sadar akan kesadaran itu sendiri. Kita mulai bisa terbangun dalam dunia batin kita sendiri .
Saat ini, kita hanya setengah terjaga untuk memahami siapa dan apa kita sebenarnya. Menyadari diri kita sendiri membawa serta rasa individu “Aku” yang sedang mengamati dunia dan memulai tindakan-tindakan. Tapi apakah Diri ini? Tampaknya itu begitu jelas bahwa itu ada, tapi, seperti yang banyak ditemukan, masih sulit untuk menentukan atau mendefinisikannya.
Ketika kita ditanya “Siapa Anda?”  kebanyakan dari kita akan merespon dengan berbagai hal yang kita identifikasi dengan label diri kita yaitu, nama kita, keyakinan, pekerjaan, pendidikan, jabatan, gender, status, kepribadian, sosial, kepentingan. Kita mendapatkan rasa identitas ini dari apa yang kita miliki atau lakukan di dunia, dengan sejarah kita, dan keadaan kita. Tetapi setiap identitas yang kita peroleh tersebut adalah kondisional, dan dengan demikian selamanya akan rentan. Hal ini akan terus-menerus tergantung pada belas kasihan dari keadaan, dan kemudian kita perlu untuk mempertahankan atau menegaskan kembali kerapuhan identitas kita tersebut. Dasar pemrograman kelangsungan hidup kita, yang dirancang untuk menjamin kelangsungan hidup fisik kita, dirampas oleh ilusi kelangsungan hidup psikologis kita, yang mengarah ke banyak perilaku yang tidak perlu dan seringkali disfungsional.
Selain itu, kita hanya setengah terjaga pada kebutuhan kita yang lebih dalam dan bingung bagaimana untuk mencapainya. Kebanyakan dari kita ingin menghindari rasa sakit dan penderitaan, dan menemukan ketenangan dan kebahagiaan, namun kita masih percaya bahwa bagaimana kita merasa di dalam adalah tergantung pada kondisi eksternal. Hal ini benar dalam beberapa kasus, misalnya. Jika kita menderita karena kita dingin atau lapar. Dalam dunia modern, kebanyakan dari kita dapat memenuhi kebutuhan ini dengan sangat mudah. Cukup menekan tombol atau melakukan perjalanan ke toko biasanya sudah cukup. Tapi kita menerapkan pemikiran yang sama untuk segala sesuatu dalam hidup. Kita percaya bahwa jika kita bisa mendapatkan secara cukup dari hal yang kita inginkan kita akan bahagia. Ini adalah akar dari keserakahan manusia, kita mencintai uang, dan munculnya keinginan kita untuk mengontrol peristiwa (dan orang lain), itu adalah penyebab dari banyaknya ketakutan dan kecemasan, kita mengkhawatirkan apakah peristiwa-peristiwa yang akan datang itu bisa sesuai dengan harapan kita jika kita ingin bahagia. Pemikiran-pemikiran ini juga muncul dalam banyak cara kita memperlakukan, dan seringkali pelecehan, terhadap planet kita.
Krisis global yang sedang dihadapi saat ini pada dasarnya adalah krisis kesadaran, sebuah krisis yang lahir dari kenyataan bahwa kita memiliki kekuatan teknologi yang luar biasa, namun kita masih tetap setengah terjaga. Kita perlu untuk membangkitkan siapa kita dan apa yang kita inginkan.
Prophets of Wisdom
Sepanjang sejarah manusia ada orang-orang yang tampaknya telah sepenuhnya terjaga. Mereka adalah orang-orang yang tercerahkan-para mistik, peramal, orang-orang kudus, Resi, roshis, dan biksu yang dalam satu atau lain cara telah menemukan sendiri hakikat kesadaran. Meskipun penemuan mereka telah dinyatakan dalam cara yang berbeda, tergantung pada pandangan dunia yang dominan dari zaman mereka, pesan penting mereka masih sangat konsisten. Aldous Huxley menyebut ini sebagai ”filsafat abadi,” kebijaksanaan abadi yang telah ada selama berabad-abad.
Mereka yang tercerahkan telah menyadari sifat ilusif dari konsep diri individu yang unik. Ketika kita menguji pengalaman kita secara lebih dekat, menggali lebih jauh ke dalam sifat dari apa yang kita sebut “Aku,” kita menemukan bahwa tidak ada apa-apa disana - kekosongan. Rasa “Keakuan-” bahwa kita semua seolah mengetahui begitu baik, dan yang telah bersama kita sepanjang hidup kita, ternyata hanyalah rasa keadaan kita. Ini adalah kesadaran itu sendiri-yang begitu akrab bagi kita, tapi sepenuhnya belum berwujud. Dengan demikian, ini tidak dapat “dikenal” dengan indra biasa. Tanpa menyadari hal ini, kita terus berusaha untuk memberikan diri kita beberapa bentuk diri, beberapa substansi. Kita membungkus itu dalam berbagai baju psikologis-semua baju yang kita pikir adalah diri kita, atau kita ingin berpikir adalah kita. Dengan memiliki kesadaran diri sejati, kita akan menemukan bahwa ada banyak bungkus, tetapi tidak ada yang benar-benar adalah kita.
Realisasi konsisten lain dari mereka yang tersadar adalah tentang sifat penting dari pikiran, yang jika tidak dibungkus oleh kecemasan dan keraguan, adalah merupakan suatu hal yang sederhana, penuh sukacita, dan cinta. Ketika kita tidak mengakui ini, sebagian besar dari kita kemudian melihat ke dunia di sekitar kita untuk bisa menyediakan kedamaian dan kebahagiaan bagi kita. Tetapi, meskipun banyaknya pesan sponsor dari industri pemasaran dan periklanan, hal atau peristiwa-peristiwa luar ini tidak membawa kebahagiaan. Sebaliknya, pikiran kita begitu penuh tipu daya, pengandaian, dan kekhawatiran apakah kita akan mendapatkan atau tidak apa yang kita pikir akan membuat kita bahagia, kita jarang mengalami kedamaian dan kemudahan yang terletak pada inti dari diri kita.
Ketika kita terbangun pada alam sejati kita, kita akan terbebaskan dari ketergantungan pada dunia luar baik terhadap pengertian kita tentang diri maupun kebahagiaan batin kita. Kita menjadi bebas untuk bertindak dengan kecerdasan yang lebih dan kasih sayang, dan selalu hadir dengan kebutuhan pada situasi yang ada daripada kebutuhan ego. Kita dapat mengakses kebijaksanaan yang terletak jauh di dalam diri kita semua. Ini adalah langkah berikutnya dalam evolusi intelijen: transisi dari mengumpulkan pengetahuan untuk kemudian mengembangkan kebijaksanaan.
Permulaan dari Kebijaksanaan Sepanjang Masa
Karena setiap fase baru dari perkembangan intelijen terjadi dalam waktu lebih singkat dari fase sebelumnya, kita bisa mengharapkan permulaan dari Kebijaksanaan sepanjang masa untuk mengambil tempat dalam beberapa tahun daripada dekade. Ini akan sangat mendukung Era Informasi.
Tidak pernah sebelumnya kita dapat mengakses kebijaksanaan spiritual begitu banyak. Seabad yang lalu, tradisi spiritual yang tersedia bagi kebanyakan orang hanyalah tradisi adat dalam budaya mereka sendiri. Selain itu, dengan pengecualian yang langka, mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar dari mereka yang benar-benar tercerahkan. Saat ini, kita dapat mengakses ajaran dari berbagai tradisi dan budaya, menemukan kebenaran yang mendasarinya, dan menerjemahkan filsafat abadi tersebut ke dalam bahasa dan istilah kita sendiri. Sesuatu yang sama sekali baru kemudian muncul: ajaran spiritual tunggal yang merupakan penyaringan dari berbagai tradisi kebijaksanaan dunia. Ini adalah penggabungan yang disebarluaskan secara global melalui berbagai teknologi informasi: buku, kaset, halaman web, forum online, dan Internet.
Pada saat yang sama, semakin banyak orang yang menjadi benar-benar terjaga, dan membuktikan pada diri mereka untuk bisa menjadi guru yang sangat baik. Banyak orang menggunakan Internet untuk berbagi kebijaksanaan mereka dan membantu orang lain untuk terbangun. Instruksi secara praktek yang memfasilitasi kebangkitan ini bisa muncul secara online, dan bisa menjadi jauh lebih canggih. Bahkan bisa saja terjadi bahwa darshan, kata India untuk transfer langsung pada kesadaran yang lebih tinggi, dapat ditularkan secara cepat melalui internet.
Kebangkitan sering merupakan peristiwa mendadak. Ketika seseorang siap- memiliki dasar, dan keadaan yang mendukung- kebangkitan bisa terjadi lebih cepat. Ada kemungkinan bahwa penelitian korelasi neurologis pada kebangkitan spiritual akan membawa kita ke metode untuk mempromosikan proses ini secara langsung. Ada kemungkinan akan adanya penemuan tak terduga lainnya atau perkembangan lain yang membantu kita untuk membebaskan pikiran kita. Apapun itu, semakin kita belajar bagaimana untuk memfasilitasi pergeseran kesadaran, dan semakin cepat hal itu akan terjadi.
Ketika ini menjadi fenomena utama, umat manusia akan berhubungan dengan dunia secara lebih bijaksana, dan cara yang lebih penuh kasih. Masalah-masalah masih akan tetap ada. Pemanasan global tidak akan tiba-tiba berhenti; polusi tidak akan tiba-tiba menguap; spesies punah tidak tiba-tiba kembali. Di sisi lain, kita kemudian mungkin akan tersedia teknologi baru yang bisa membantu kita memecahkan masalah yang kita buat. Kita hanya bisa meramalkan di mana penggabungan antara teknologi tinggi dan kesadaran yang lebih tinggi akan terjadi. Yang kita belum pernah mencapai itu sebelumnya.
Dibalik Kebijaksanaan
Apakah ini menjadi titik akhir evolusi kita? Atau apakah akan diikuti dengan putaran spiral berikutnya?
Banyak tradisi mistik dunia yang menyatakan bahwa pembebasan pikiran dari kemelekatannya hanya merupakan langkah pertama dalam kebangkitan. Pengalaman yang lebih universal dari pikiran, dan perspektif yang berbeda secara fundamental terhadap realitas, masih berada di luar jangkauan.
Mereka yang telah sangat maju secara spiritual mengklaim bahwa dunia materi sesungguhnyan adalah tidak nyata, dan bahwa ruang dan waktu itu bukanlah realitas akhir. Menariknya, pandangan ini sesuai dengan eksplorasi fisika modern saat ini tentang sifat realitas fisik. Setiap kali kita mencoba untuk menjabarkan esensi materi, ia malah menghilang. Sepertinya tidak ada apapun disana-yaitu, tidak ada subtansi materi. Tidak ada ruang dan waktu yang absolut, seperti yang kita pernah anggap. Mereka adalah bagian dari realitas yang lebih mendasar, yaitu kontinuum ruang-waktu.
Pemahaman mereka menemukan hakikat terdalam dari realitas-bukanlah dengan menggali lebih dalam melalui bentuk luar, tetapi melalui eksplorasi yang menembus ruang batin. Jika demikian, takdir kolektif kita mungkin justru adalah kebebasan dari ilusi materialitas, dari ilusi bahwa kita hidup dalam ruang dan waktu.
Jangan terlalu cepat untuk menyingkirkan kemungkinan itu, hanya atas dasar bahwa pemahaman itu seolah sangat terpisah dari realitas saat ini. Jika anda memberitahukan Mozart bahwa di masa depan orang akan memiliki kotak-kotak kecil, yang terbuat dari beberapa bahan aneh yang bukan kayu atau logam, dengan dua tali berada diluar dari kotak, dan ketika benda itu ditempatkan di telinga mereka, akan memungkinkan mereka untuk mendengar komposisi lagu dengan sangat jelas seolah-olah mereka berada di sebuah ruangan dengan sebuah orkestra, apakah dia mempercayai Anda? Sebaliknya, ia mungkin akan mengira Anda gila.
Titik Omega
Satu orang yang percaya bahwa takdir kita sesungguhnya adalah menuju kebangkitan spiritual kolektif, adalah pendeta dan ahli paleontologi Perancis, Pierre Teilhard de Chardin. Dengan menjelajahi kecenderungan evolusi yang mengarah pada kompleksitas yang lebih besar, konektivitas, dan kesadaran, ia berpendapat bahwa kemanusiaan sedang bergerak menuju Titik Omega-  akhir tujuan evolusi.
Dia percaya bahwa alam semesta ini telah melalui beberapa tahapan utama evolusi, dimulai dengan apa yang ia sebut “Cosmogenesis,” kelahiran dari “cosmosphere”dari semesta; Berikutnya adalah geogenesis, kelahiran bumi (geosfer). Setelah itu , “biogenesis”, kelahiran kehidupan (biosfer). Bersama dengan manusia, datanglah “noogenesis” dan “noosphere”, bidang pemikiran. Dia memprediksi. bahwa tahap akhir, salah satu yang menyebabkan Titik Omega, adalah kemudian ”Christogenesis”. Ini akan menjadi kelahiran kesadaran Kristus, bukan dalam individu, tapi di kelahiran-spiritual kolektif kemanusiaan secara keseluruhan.
Teilhard de Chardin percaya bahwa Titik Omega ini akan terjadi ribuan tahun di masa depan. Seperti banyak orang lain, ia tidak memperhitungkan implikasi dari perubahan yang semakin-mempercepat. Dalam tahun-tahun berikutnya, ia berkomentar tentang dampak radio dan televisi dalam membawa umat manusia bersama-sama. Teknologi seperti ini, katanya, akan membawa Titik Omega jauh lebih dekat. Tepat sebelum dia meninggal, komputer pertama sedang dikembangkan. Dengan mengamati potensi teknologi baru ini, ia meramalkan bahwa teknologi ini juga akan membawa lebih dekat ke Titik Omega. Jika ia masih hidup untuk bisa melihat munculnya Internet, ia mungkin akan menyadari bahwa Titik Omega bisa datang dengan segera.
Kerusakan atau Terobosan?
Ketika kita melihat apa yang terjadi di dunia saat ini, dapat dimengerti bahwa kita mungkin mengejek gagasan terobosan spiritual kolektif ini. Berita harian saat ini penuh dengan bukti bahwa kita sedang menuju ke arah kerusakan yang lebih cepat daripada terobosan.
Itu memang satu kemungkinan yang mungkin. Saya tidak ingin mengecilkan urgensi mengerikan dari situasi dunia. Jika kita tidak membuat beberapa perubahan radikal, kita pasti akan menuju bencana atau peristiwa lain yang merusak.
Saya juga percaya bahwa perubahan itu adalah mungkin. Jika kita dapat mengembangkan kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk menavigasi jalan kita meskipun banyaknya gejolak, potensi yang mengejutkan dan tidak terbayangkan akan berada dalam jangkauan kita. Mari kita menempatkan hati dan pikiran kita untuk membuktikan bahwa kita mampu melewati ujian akhir dari evolusi seperti yang dikatakan oleh Buckminster Fuller, dan menjadi spesies yang benar-benar tercerahkan. Kita sendiri, bagaimanapun juga, adalah satu-satunya harapan kita.

Senin, 10 Maret 2014

Oleh : Arif Riza Azizi

Sulit memilih pisau tajam diantara banyak pisau, di tempat yang gelap tak ada sejarum sinar yang menyinari. Pisau tajam untuk membelah kegamangan fakta sejarah masa lampau yang tak tertuliskan, untuk menemukan satu diantara kebenaran. Mungkin begitulah gambaran tentang sejarah Supersemar. Penuh dengan kegamangan dan ketidakjelasan. Banyak fakta dari lisan pelaku sejarah menganga, menceritakan kronologi dan semua tentang Supersemar. Menceritakan sesuai versi mereka sendiri. Tidak ada benang merah yang dapat ditarik untuk menyusun sebuah sejarah Supersemar sesuai khazanahnya. Entah karena mereka menginginkan pengakuan, bahwa cerita versi “saya” yang paling benar, atau, pula karena apa? Kita hanya bisa bergumam, menyaksikan kesemerawutan ini.

Supersemar, SP(surat perintah) tertanggal 11 Maret 1966, yang diamanahkan dari Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno kepada Soeharto. SP yang pada intinya mengatakan bahwa, Soekarno memberikan kuasa sementara kepada Soeharto untuk menertibkan kondisi keamanan di tengah memanasnya situasi politik, ekonomi dan sosial yang ada di Indonesia pra-Supersemar dibuat, dan SP tadi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh empunya, Soekarno, jika situasi sudah menjadi lebih kondusif. Soeharto yang dikala itu menjabat sebagai Kepala Angkatan Darat, menjadi orang yang mempunyai pengaruh cukup besar untuk menormalisasi semacam kondisi keamanan, terutama yang ada di dalam negeri, terlepas dari lobi yang dilakukan oleh Soeharto memnfaatkan kondisi yang semerawut di Indonesia kala itu untuk mengkatrol nama dan pengaruhnya. Dan akhirnya lembaran SP yang ditandatangani langsung oleh Soekarno, menjadi alat baginya menuju kursi nomor satu di Indonesia.

Lengsernya Orde Lama

tidak peduli siapa yang salah siapa yang benar? Atau siapa yang menjadi pahlawan dan siapa yang menjadi penjahat? Soekarno-soeharto, dua nama yang memiliki awalan tiga huruf yang sama, dalam ejaan lama Bahasa Indonesia. bukanlah kebetulan, dua sosok yang punya awalan nama yang sama dan juga sama-sama memiliki pengaruh terhadap ke-sejarahan bangsa Indonesia pula. Diawali dengan Soekarno, dipandang sebagai seorang pahlawan revolusioner, yang dielu-elukan sebagai orang yang bejasa membawa Negara Indonesia merdeka, sampai akhirnya Soekarno diangkat menjadi Presiden pertama Indonesia yang menjabat sampai seumur hidupnya, sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963.  

Dilanjutkan kepada sosok seorang Soeharto. Seorang ABRI yang memiliki kemampuan diluar sewajarnya. Seorang militeris yang pandai berpolitik. Salah satu buktinya, ketika Soeharto, yang seorang anak petani biasa, diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat mengalahkan sosok AH. Nasution, seniornya yang kenyang akan pengalaman. Dan mungkin inilah indikasi bagaimana Soeharto mengakali supaya dialah yang akhirnya ditunjuk menjadi Menteri Panglima Angkata Darat. Puncak kehebatan dia berpolitik, adalah kala dia mampu melengserkan jabatan Presiden seumur hidup yang diemban oleh Ir. Soekarno, yang pada saat itu sangat kentara sekali Soeharto mem-politiki banyak pihak untuk meruntuhkan orde lama, menggantinya dengan orde baru.

Pengaruh Super Semar dalam kesejarahan Indonesia

Super Semar yang hanya terdiri dari selembar kertas, menurut versi yang ada didokumen negara (atau dua lembar menurut versi lain), memiliki pengaruh yang besar bagi jalannya sejarah Indonesia sesudah SP itu dibuat. Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, Supersemar mengubah sejarah di Indonesia  mulai dari politik, ekonomi, sosial hingga urusan luar negeri. Semenjak Bung Karno menjadi Preisden RI, jalannya perpolitikan di Indonesia praktis dikuasai oleh tiga partai besar semacam PKI, Masyumi dan PNI. Tiga partai yang punya basis massa tersendiri dengan ideologinya masing-masing. PKI adalah partai yang berideologikan komunisme, yang menjadi the rising star diantara partai politik lainnya menjelang lahirnya Supersemar. Kader-kader PKI mampu menduduki jabatan penting di pemerintahan, dan juga PKI saat itu memiliki kedekatan langsung dengan Soekarno, dan bisa dibilang Soekarno menjadi sosok yang melindungi PKI dari kecemburuan pihak militer yang sangat ingin membubarkan partai tersebut. hingga akhirnya PKI dapat ditumpas habis oleh pihak militer semenjak peristiwa G30 S, dan puncaknya keputusan Soeharto, yang saat itu memegang SP 11 Maret, untuk membubarkan PKI secara resmi. Setelah itu, praktis perpolitikan di Indonesia dikuasai oleh militer yang nyeleneh ikut berpolitik.

Kondisi ekonomi di Indonesia sangat berubah total pasca SP 11 Maret itu dibuat. Perbaikan (atau mungkin kemunduran) ekonomi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh lobi-lobi internasional yang dilakukan oleh Menlu Adam Malik. Mengawali dengan masuk kembali menjadi anggota PBB, yang pada pemerintahan Soekarno, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Melalui PBB, Indonesia mendapat keringanan untuk melunasi hutang-hutang luar negeri. Kebijakan ekonomi lainnya dengan menghalalkan investor asing menanamkan modal sebesar-besarnya di Indonesia, dan bisa dibilang investasi ini berlaku hingga sekarang, yang merupakan sistem warisan dari zaman ekonomi orde barunya Soeharto.

Apakah Supersemar mencederai cita-cita Ideologi Bangsa?

Jika diarahkan kepada cita-cita yang ingin dituju oleh Soekarno, jelas sekali bahwa Supersemar berbalik arah dari tujuan Soekarno. Tetapi kalau untuk cita-cita ideologi bangsa, cedera itu ada tetapi porsinya tidak semenyeluruh itu. Meskipun begitu, pengaruhnya juga sangat signifikan bagi perkembangan Indonesia disegala bidang. Kebebasan berideologi dan berorganisasi tentunya yang mengalami cedera luar biasa. Semenjak orde baru hingga sekarang, ideologi komunis dan segala yang berbau komunis diharamkan di Indonesia. masyarakat Indonesia diarahkan untuk menjadikan ideologi komunis dan pengikutnya sebagai musuh bersama. Padahal, dalam UUD ’45 setiap warga Indonesia dijamin dan dilindungi untuk menganut ideologi yang sesuai keyakinannya. Tetapi hingga sekarang kebebasan itu seakan terkaburkan entah oleh siapa. Rakyat Indonesia sudah menganggap ora elok semua hal yang berbau komunis. Sampai-sampai, pernah ketika Gus Dur melontarkan permintaan maaf kepada korban G30 S, timbul protes luar biasa dari banyak kalangan. Mereka menganggap permintaan maaf itu tidak layak diberikan kepada mereka komunis. Wah! wah! sampai segitunya,,,

Menjadikan SP 11 Maret menjadi Tap MPRS pun itu juga kesalahan. Dilihat dari kacamata hukum, seharusnya peresmian ini sudah barang tentu mengalami kecacatan. Bagaimana bisa, surat yang sifatnya eksekutif, pelimpahan wewenang untuk sementara bisa disahkan menjadi Tap MPRS. Kecurigaan itu tidak berlebihan kiranya, karena personil MPR saat pengesahan SP 11 Maret menjadi Tap MPRS sudah diatur sedemikian rupa. Tetapi, inilah sejarah Indonesia, meskipun kelam tapi kita tidak boleh melupakan sejarah bangsa kita sendiri. Mungkin sejarah ini bisa dijadikan refleksi untuk membangun bangsa Indonesia menjadi Negara kesatu, tidak lagi menjdi Negara ketiga.




Jumat, 07 Maret 2014

Oleh : Arif Riza Azizi

Kurang lazim untuk mendengar kata banjir bahasa. Dan mungkin hanya ada keheranan saat gendang telinga ini bergetar mendengar kata yang sungguh menggelitik. Aku tidak akan mencoba mendefinisikan pengertian banjir bahasa. Aku lebih ingin membebaskan pembaca, menjelajah akal pikirannya menerjemahkan pengertian banjir bahasa sesuai persepsi masing-masing. Yang pasti, sama halnya dengan dengan banjir air, banjir bahasa juga termasuk ke dalam wilayah negatif, dimulai dari sebab sampai akibatnya.

Mencoba menjadi seorang ahli riset “gadungan”, aku mencoba menelisik hal ihwal yang berperan menyampaikan debit air penyebab banjir, dan tanpa mengabaikan rasa hormat, instansi pendidikan menjadi pipa kecil berskala besar, yang terus –menerus mengepul volume air yang menggenangi permukaan pikiran kita. Apalagi saat kita berada di lingkungan kampus, debit air seakan selalu menjadi ombak besar. Mahasiswa yang lebih senang mempraktikkan yang namanya bahasa intelektual sebagai ciri khas manusia berpendidikan tinggi, yang tinggi tegak pula bahasa yang mereka gunakan.

Bahasa intelektual yang merupakan alih kebahasaan dari berbagai bahasa asing yang membanjiri kosa kata bahasa dalam negeri, seakan menjadi komoditas yang laris nan diminati oleh masyarakat kita sebagai bahasa pembentuk strata. Semakin bisa berkomunikasi dengan bahasa intelektual gengsi kita dibilang semakin tinggi, dan pandangan orang akan tentu berbeda sama sekali. Meniru istilah iklan pertelevisian, “mulutmu harimaumu”, menjadi bukti shahih bahwa ucapan seseorang menjadi suatu pembeda.

Lingkungan intelektual menyeret segala keadaan bangsa ini. Bahwa semua telah tererupsi oleh virus kebahasaan. Bibir kita seakan menjadi selang atau pipa-pipa yang ikut mengalirkan air, menambah defisit banjir dalam kebahasaan kita. Bukan masalah cuaca banjir kebahasaan bergelombang datang menggenangi bibir saat berucap. Aliran deras sungai bahasa meluap sewaktu-waktu, untuk saat in, dan tidak ada kemungkinan surut sebagian atau seluruhnya. Kita sendiri yang telah menutup drainase-drainase bahasa, sama seperti tidak adanya saluran drainase di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Bangunan-bangunan menjulang tinggi meratakan, memenuhi jumlah rataan daratan. Sehingga air mulai kebingungan mencari tempatnya menyatu bersama tanah persemayamannya.

Bagaimana lagi, mengatasi volume banjir bahasa yang sudah akut. Setiap saat banjir bahasa terus dipasok, berbalikan dengan waduk penampung bahasa yang semakin dangkal. Dasar waduk dangkal oleh tanah yang mengendus ke dasar waduk. Volume waduk menjadi semakin berkurang. Ditambah pengaruh dari pegunungan atau sejenis gundukan tanah bahasa, bahasa yang hidup asri dan asli di dalamnya ditebangi semena-mena, mengakibatkan tanah menjadi gundul. Samakan saja dengan kejadian longsor pergunungan yang dikarenakan penggundulan hutan. Tanah yang tinggi menjadi tidak berurat tanpa topangan akar dari tumbuh-tumbuhan. Saat ada hujan deras, dengan mudah gunung menjadi longsor. Longsor bahasa pun juga karena tidak adanya topangan dari pohon bahasa, saat datang bahasa impor membanjiri ketatabahasaan kita, bahasa asli yang cukup dan tenang mengisi dimana cekungan tempat bahasa tergenang, tertindih oleh bahasa impor yang membanjiri debit bahasa kita.

Banjir yang terus menggenangi, bersamaan hujan bahasa yang terus menghujani bumi bahasa, meluap masuk ke dalam rumah-rumah. Kita mencoba mencegahnya? Tidak. Kita mendiamkannya dan mengamalkannya setiap hari, waktu dan menit yang terlewati. Sejatinya, banjir yang menggenangi rumah akan menimbulkan kekotoran bahasa. Perlu dipel untuk membersihkannya, mungkin juga butuh deterjen pembersih untuk menghilangkan nodanya. Kalaupun hanya sebatas noda di baju atau di tubuh kita, mudah kita membersihkannya. Masalahnya kita berurusan dengan noda yang tidak kasat mata. Bagaimana mau menghilangkannya, kalau diibaratkan penyakit dia lebih ganas daripada kanker.

Kalian pembaca pun bisa menemukan bahasa impor dalam tulisan saya ini. Tanpa menafikkan diri, memang sangat sulit menghindari arus banjir bahasa dewasa ini. Aku menyadarinya setelah aku berada di tengah muara banjir bahasa, tergenang banjir bahasa, dan bagaimana aku harus mengentaskan diri, jika aku terlanjur basah. Tapi bukan berarti aku terus menerus berdiri bermandikan air di tengah muara bahasa ini, usaha untuk mengungsi selalu menjadi prioritas. Mengungsi dan kembali disaat banjir bahasa sudah reda dan surut.


Kamis, 06 Maret 2014

Oleh : Arif Riza Azizi

Banyak cara untuk mendapatkan ilmu atau sekedar mencari informasi sebagai lanjutan studinya atau hanya ingin mengetahui info terkini. Membaca adalah salah satu jalannya, sebagai media transfer pengetahuan. Peran kegiatan baca sangat penting ditengah-tengah gelombang arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat mutakhir.
Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang tertulis. Membaca melibatkan pengenalan simbol yang menyusun sebuah bahasa. Dan perlu diketahui kegiatan membaca tidak melulu menimbulkan keseriusan, ada kalanya membaca dapat termasuk sebagai hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau cerita humor.
Seorang pelajar lazimnya memiliki kesadaran akan  pentingnya membaca, karena merekalah yang sangat memerlukan pengetahuan untuk menunjang dalam kegiatan belajar mengajar. Tetapi yang ada, mereka membaca lebih  karena terpaksa. Entah itu terpaksa karena demi mendapatkan nilai bagus ataupun tujuan lainnya. Inilah yang harus mereka rubah. Mereka harus menyadari bahwa membaca adalah membaca,  untuk mendapatkan informasi bukan karena mengejar nilai.
 Dalam konteks sekolah, pelajar membaca untuk tujuan-tujuan seperti  mendapatkan fakta atau gambaran keseluruhan tentang sesuatu tajuk atau perkara,  memahami sesuatu persoalan atau menjelaskan kefahaman tentang suatu konsep,  mengumpulkan berbagai pendapat berkaitan dengan sesuatu persoalan. Jadi membaca-nya mereka karena adanya keperluan dari luar diri, bukan karena kebutuhan diri mereka sendiri.
Seseorang yang rajin membaca sering disebut sebagai kutubuku, yang konotasinya selalu buruk. Seorang kutubuku dianggap kuper, pendiam, pemalu, asosial, dan selalu menutup diri dari dunia luar. Padahal kenyataanya tidak seperti itu. Mereka juga bisa berbaur dengan dunia luar. Tetapi yang menjadi prioritas mereka tetap membaca. Mereka berpikir daripada nongkrong-nongkrong tidak jelas  yang akan  menyita banyak waktu tanpa ada manfaatnya, lebih baik digunakan untuk membaca.
Bukan asumsi seperti itu yang harusnya mereka paham. Mereka harus memahami bahwa orang yang rajin membaca adalah mereka yang siap untuk menjadi orang sukses. Karena 95 persen orang sukses adalah mereka yang sering membaca, yang menjadi kutubuku.
Manfaat membaca
            Kita tahu bahwa buku adalah jendela dunia. Melalui buku kita akan memperoleh banyak pengetahuan. Dan untuk mengetahui isi sebuah buku tentunya  kita perlu membacanya.
            Membaca juga bisa digunakan untuk mengisi waktu luang atau sebagai hiburan. Daripada kita berdiam diri, melamun, galau yang tidak ada gunanya, lebih bijak jika kita memanfaatkan waktu tersebut untuk membaca. Seperti saat membaca komik, fiksi atau cerita humor,  yang sejenak mampu membuat kita melupakan masalah-masalah yang sedang dihadapi.
            Dengan sering membaca, seseorang bisa mengembangkan keluwesan dan kefasihan dalam bertutur kata. Kata-kata yang telah kita baca akan tersimpan didalam memori otak kita. Dan tentunya semakin menambah perbendaharaan kata, terutama kata-kata intelek yang menggambarkan kita sebagai kaum terpelajar.
Membaca membantu mengembangkan pemikiran dan menjernihkan cara berpikir kita. Semakin banyak buku yang kita baca, akan semakin memperbanyak informasi yang kita terima. Kita juga akan mampu membenturkan fakta yang  sebelumnya kita ketahui, dengan fakta terbaru yang kita peroleh. Dan secara tidak langsung, kita mampu mengumpulkan pecahan-pecahan informasi yang saling berkaitan.
Selain itu, dengan sering membaca, seseorang dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang lain, seperti mencontoh kearifan orang bijaksana dan kecerdasan tokoh-tokoh  hebat dunia.
Tradisi membaca juga membuat kita update dengan perkembangan yang ada disekitar kita. Contohnya dengan membaca koran atau surat kabar lainya yang menyajikan informasi terkini semua kejadian yang ada disekitar kita. Apalagi di era digital seperti sekarang, kita semakin dimudahkan memperoleh informasi lebih cepat dari seluruh pelosok dunia.
Manfaat yang terakhir adalah yang paling penting. Sebagai mahluk sosial kita tidak boleh menutup mata dengan perkembangan yang ada disekitar kita. Contohnya ketika terjadi bencana alam yang menimpa saudara kita, apalagi mereka dari daerah atau Negara yang sama. Kita akan tergerak untuk membantu mereka baik bantuan berupa materi maupun non-materi.
Tehnik membaca
Mungkin tidak banyak orang mengetahui tehnik-tehnik dalam membaca, serta manfaat apa yang akan mereka peroleh ketika kalian menerapkannya. Kalian akan cenderung mengabaikanya dan menganggap hal itu tidak terlalu penting.
Okelah!... kalian bisa mengabaikan tehnik-tehnik membaca begitu saja, asalkan jangan pernah mengabaikan kebiasaan untuk selalu membaca. Karena tehnik dalam membaca bukanlah satu-satunya penentu kita dapat memahami bacaan dengan mudah. Yang pling penting adalah kita selalu membiasakan membaca setiap hari.
Teknik membaca dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan dalam  membaca. mengukur kecepatan  membaca, latihan menempatkan secara tepat titik pandang mata, latihan memperluas jangkauan pandang mata. Dengan tehnik membaca, kita diarahkan untuk membaca secara efektif, dalam hal waktu maupun pemahaman.
Tehnik mambaca yang pertama adalah SQ3R, dikemukakan oleh Francis P. Robinson (seorang guru besar psikologidari Ohio State University), tahun 1941. SQ3R merupakan proses membaca yang terdiri dari lima langkah, yaitu survey (menyelidiki), question (pertanyaan), read (membaca), recite atau recall (mendaras), dan review (mengulang). Membaca dengan metode SQ3R ini sangat baik untuk kepentingan membaca secara intensif dan rasional.
Yang kedua adalah skimming, merupakan tindakan untuk mengambil intisari atau saripati dari suatu hal. Oleh karena itu, skimming merupakan cara membaca hanya untuk mendapatkan ide pokok, yang dalam hal ini tidak selalu di awal paragraf, karena kadang ada di tengah, ataupun di akhir paragraf.
Skimming bisa disebut sebagai tehnik baca efektif, karena kita hanya menelusuri paragraf yang memuat ide pokok atau gagasan-gagasan penting. Jadi kita dapat melompati bagian-bagian, fakta-fakta, dan detail-detail yang tidak terlalu dibutuhkan, sehingga kita hanya memusatkan perhatian dan cepat menguasai ide pokoknya.
Tehnik baca yang ketiga adalah membaca-tatap (Scanning), adalah suatu teknik membaca untuk mendapatkan suatu informasi tanpa membaca yang lain-lain, jadi langsung ke masalah yang dicari, yaitu fakta khusus dan informasi tertentu. kegiatan scanning lebih ditekankan untuk mencari informasi khusus. Karena itu kita perlu terlebih dahulu mengetahui apa yang akan kita cari.
Scanning sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya untuk mencari: nomor telepon, arti kata pada kamus, entripada indeks, angka-angka statistik, acara siaran TV, dan melihat daftar perjalanan.
Tehnik baca yang keempat adalah baca-pilih (selecting), merupakan membaca bacaan atau bagian-bagian bacaan yang dianggap relevan atau mengandung informasi yang dibutuhkan pembaca. Jadi sebelum membaca, kita harus melakukan kegiatan seleksi bahan lebih dahulu. Contohnya memilih berita dalam koran untuk dibaca.
Tehnik baca yang terakhir atau yang kelima adalah baca-lompat (skipping), yakni bagian-bagian bacaan yang dianggap tidak relevan atau bagian yang sudah dikenal atau sudah dipahami diabaikan dan dilompati saja. Contohnya pada saat membaca daftar iklan baris.
Tingkat Baca Masyarakat Indonesia Jauh di Bawah Standar UNESCO
Minat baca masyarakat Indonesia tergolong masih sangat rendah. UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca.
            Sementara itu,The United Nations Development Programme (UNDP) merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5%, sedangkan Malaysia  mencapai 86,4%. (news.bisnis.com)
            Kenyataan ini semakin ironis karena anggaran untuk fungsi pendidikan sangat tinggi, yakni 20 persen dari APBN per tahun. Kenyataannya, Indonesia berada diurutan ke-60 untuk minat baca masyarakatnya dari 65 negara. (rumahpengetahuan.web.id)
Fakta tersebut membuat kita semua  prihatin. Seharusnya sebagai bangsa yang tengah giat membangun, membaca menjadi salah satu kunci penting untuk menjadikan roda pembangunan bisa berputar lebih cepat dan pesat.
Kepala Bidang Pengembangan Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia Nurcahyono seperti dikutip suaramerdeka.com menjelaskan, akibat rendahnya minat baca tersebut, pada tahun 2012 Indonesia nangkring di posisi 124 dari 187 Negara di dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan 'melek huruf'.
Salah satu faktor penentu mengapa minat baca masyarakat Indonesia rendah adalah karena kondisi ekonomi masyarakatnya. Kondisi ekonomi menyebabkan akses masyarakat terhadap buku-buku bermutu semakin sulit, karena untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok sehari-hari sudah kesulitan, apalagi membeli koran, buku, atau bacaan lainnya.
            Budaya membaca harus dijadikan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya membaca yang akan berdampak pada gemar membaca ini, bisa dijadikan upaya untuk menekan angka buta huruf.
Tantangan minat baca di Indonesia akan bertambah semakin berat, karena saat ini dunia sudah bergeser ke era digital. Seharusnya era digital lebih bisa memudahkan kita untuk membaca segala informasi dari seluruh pelosok dunia dengan cepat, mudah dan praktis. Tetapi faktanya berlainan, minat baca masyarakat Indonesia malah semakin rendah. Yang ada, mereka memanfaatkan era digital untuk melakukan plagiat atau copy-paste.
Era digital di Indonesia tampaknya terlalu dipaksakan. Akibatnya timbul budaya plagiat yang tidak hanya membuat masyarakat kita malas membaca tapi juga malas berkarya. Di Negara lain, era digital terjadi ketika masyarakatnya sudah gemar membaca. Sementara Indonesia memasuki era digital ketika minat bacanya masih rendah.           
Pemaksaan dalam membaca tidak melanggar HAM
Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa bangsa yang hebat ternyata masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Masyarakatnya sejak dini terlatih dan terbiasa untuk membaca.
            Sebagai langkah awal membaca harus dipaksakan, agar itu dapat menjadi kebiasaan. Dan salah satu alasan kita kalah dengan negara tetangga di Asia, karena kita keterbatasan literasi dan keterbatasan kemampuan memaknai apa yang kita baca.
Kita lihat saja bagaimana Amerika Serikat  mewajibkan siswa SMA untuk membaca 32 judul karya sastra dalam setahun, siswa Jepang 15 judul, Brunei 7 judul, Singapura dan Malaysia 6 judul, serta Thailand 5 judul. Berbeda sekali dengan siswa SMA di Indonesia yang tidak memberlakukan kewajiban membaca.
Untuk UNESCO sendiri, telah menetapkan kewajiban bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk gemar membaca. Program UNESCO menetapkan 50 judul buku untuk dibaca persatu juta penduduk, sedangkan untuk negara maju, sedikitnya 500 judul buku untuk dibaca oleh persatu juta penduduknya.
Sebenarnya program wajib baca pernah diterapkan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Misalnya, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 karya satra per tahun. Siswa AMS wajib membuat 1 karangan per minggu, 18 karangan per semester, atau 26 karangan per tahun.
Tetapi, pemaksaan dalam membaca jangan pernah dianggap sebagai merampas HAM, membelenggu kebebasan mereka.  Justru, karena begitu pentingnya budaya membaca, maka diterapkan program wajib baca. Ini semata-mata demi kebaikan mereka sendiri, bukan untuk instansi atau lembaga yang menerapkan program wajib baca tersebut.
Melihat fakta sejarah bangsa Indonesia yang pernah menerapkan program wajib baca. Kenapa hal itu tidak pernah diterapkan lagi oleh pemerintah kita ?
Tetapi, jikalau nantinya program wajib baca diterapkan di Indonesia, tentu saja masih banyak kendala yang akan dihadapi. Karena rendahnya minat baca di kalangan siswa pun tidak terlepas dari persoalan perpustakaan sekolah yang tidak mencukupi dan memadai. Hal ini terlihat dari 110.000 sekolah yang ada di Indonesia, terindentifikasi hanya 18% yang mempunyai perpustakaan.
Dari 200.000 unit sekolah dasar di Indonesia, hanya 20.000 yang memiliki perpustakaan standar. Dari 70.000 SMP, hanya 36% yang memiliki perpustakaan standar, dan 54% SMA yang mempunyai perpustakaan standar.
24 ribu vs 240 juta
            Selain minat baca masyarakat Indonesia yang rendah, masih banyak lagi kendala mengapa budaya membaca Indonesia bisa dikatakan sangat minim. Dan salah satu kendalanya adalah jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia masih begitu rendah.
Menurut data yang saya peroleh, Indonesia hanya mampu menerbitkan sekitar 24.000 judul buku per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Jadi, dalam setahun Indonesia hanya menghasilkan sekitar 72 juta buku.
Jika dikalkulasi dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, berarti untuk satu buku rata-rata dibaca oleh 3-4 orang. Padahal, berdasarkan standar UNESCO, idealnya satu orang membaca tujuh judul buku per tahun. (rumahpengetahuan.web.id)
Sementara itu Fadli Zon, pemilik Fadli Zon Library,  menyebutkan saat ini rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. Angka itu didapat dari sebanyak 165,7 juta jiwa penduduk Indonesia, hanya memiliki terbitan buku 50 juta eksemplar per tahun. Dari 64.000 desa yang ada di Indonesia, ternyata yang mempunyai perpustakaan hanya 22%. (news.bisnis.com)
Hal itu tampaknya memang wajar terjadi, karena membaca dan menulis adalah kegiatan yang saling berhubungan. Jika Negara yang minat bacanya rendah pasti berdampak pada jumlah terbitan buku yang rendah pula. Orang memiliki kemauan menulis karena dia sering membaca dan menganggap membaca dapat menginspirasi mereka untuk tidak hanya menjadi konsumen, tapi juga produsen, yang juga giat menulis.
Membiasakan membaca sejak dini
            Sekarang, semakin banyak pegiat sosial menyadari akan pentingnya membaca. Tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tapi mereka berusaha menularkan budaya membaca kepada orang-orang disekelilingnya. Dan berharap mereka juga akan membiasakan diri untuk membaca.
            Mereka, sesama pegiat dan penggerak sosial membentuk aliansi, bersatu untuk menumbuhkan budaya membaca dikalangan masyarakat. Contohnya, melalui Rumah Pintar yang dibentuk Yayasan Tunggadewi dan Yayasan Satoe Indonesia yang mereka dirikan, berupaya mengembangkan minat baca masyarakat yang sudah mulai hilang. Yayasan ini menyediakan buku-buku untuk dibaca khalayak ramai secara gratis tanpa biaya.
Rumah Pintar terbentuk dalam pendidikan lintas masyarakat untuk multi usia, mulai dari anak usia dini sampai dewasa. Hal itu dimaksudkan bahwa pembelajaran itu tak mengenal batasan usia. Dan bagi mereka yang sudah tua tidak perlu malu untuk membaca. Karena, mayoritas mereka yang usianya sudah tua merasa malu, dan berpikiran membaca tidak ada manfaatnya.
            Peran serta seseorang sebagai anggota rumah pintar, akan menciptakan masyarakat yang memiliki pengetahuan. Dampaknya akan menghasilkan warga yang sejahtera. Diharapkan minat membaca juga semakin tinggi.
            Selain melalui yayasan-yayasan yang terstruktur, masih banyak upaya yang dilakukan oleh pegiat sosial untuk membudayakan membaca. Tetapi, tetap saja cara yang paling efektif menumbuhkan budaya membaca dimulai sedari kecil. Mereka yang dari kecil sudah dibiasakan untuk selalu membaca, tentu akan membawa kebiasaan itu sampai dia dewasa.
            Sekarang yang patut dipertanyakan adalah peran pemerintah. Bagaimana pemerintah melalui Mendikbud mencari solusi untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia yang sudah kronis ? Mereka pasti sudah mengerti masalah ini, tetapi mereka tidak mampu atau mungkin tidak mau perduli pada permasalahan ini. Atau bisa jadi kompetensi pendidikan yang diterapkan di Indonesia kurang tepat dan sama sekali tidak efektif  untuk menunjang minat baca siswa? Dan bagaimana anda menyikapi keadaan ini?