my sense of imagination

ads1

Sabtu, 14 Desember 2013

BIAS GENDER = TRADISI
Oleh : Arif Riza Azizi


Pengertian bias gender
Banyak sekali pengertian dari bias gender yang dapat kita temukan. Dengan mudah kita dapat menemukanya di dalam buku, atau mencari lewat internet. Salah satu diantaranya mengatakan bias gender adalah pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dengan sifat feminim dipandang selayaknya berperan di sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan di sektor publik.
Berdasarkan asumsi masyarakat bias gender diartikan bahwa pekerjaan perempuan yang terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan diidentikkan dengan pekerjaan rumahan. Pekerjaan mereka mencakup urusan-urusan dapur dan sebagainya. Bahkan para orangtua sering bilang pada anak laki-lakinya untuk memilih istri yang pandai memasak. Hal itu cukup mematri pikiran kita semua, bahwa perempuan kerjanya di dapur, sebagai ibu rumah tangga,menjadi istri dan ibu yang baik bagi suami dan anak-anaknya.
Kadang kali, seorang perempuan diberikan tugas ganda jika mereka memilih untuk menjadi wanita karir. Disatu sisi, mereka harus bisa menyelesaikan persoalan rumah, sekaligus mengurusi pekerjaannya diluar rumah. Hal itu, sebagai konsekuensi yang harus diterima tanpa ada pengecualian.  
Menurut adat jawa, bias gender diartikan bahwa tugas  seorang perempuan yang terpenting adalah 3M (macak, masak, lan manak). Hal ini menimbulkan premis, seakan perempuan begitu dibatasi ruang lingkupnya kususnya dalam hal pekerjaan. Mereka hidup dalam aturan, yang mereka sendiri tidak pernah ingin menanggungnya.
Yang menjadi sorotan dari bias gender adalah masalah kedudukan, perbedaan peran seorang laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran yang seakan selalu memarginalkan peran perempuan, tanpa pernah memperhitungkan potensi yang mereka miliki.
Fakta lapangan
Dalam keberlakuanya, memang tidak pernah ada sosialisasi secara massive  dalam pembagian peran tersebut. Bias gender tercipta mulai dari lingkungan keluarga, dan dengan mudahnya menjulur ke semua lapisan masyarakat  diberbagai usia. Apa yang masyarakat terapkan sekarang, dulunya adalah hasil didikan orangtua mereka. Tetapi, mengapa masyarakat seakan menerima nasib dengan pasrahnya, dan tidak mau keluar dari keberlakuan bias gender yang  jonjing (tidak seimbang) ini.
Menariknya, bias gender sudah menjadi  sebuah sistem atau tradisi yang sangat luar biasa hebatnya. Mampu membentuk sebuah susunan rantai yang berkesinambungan tanpa pernah, dan akan sulit terputus.  Terjadi keberlanjutan yang terus - menerus dalam menurunkan tradisi ini, tanpa pernah ada pengajaran intensif ataupun sosialisai. Sistem itu sudah tertanam begitu saja dalam mindset mereka sejak mereka kecil.
Kita  juga bisa menyoroti keberlakuan bias gender  yang terjadi di lingkungan kampus. Dimana pemegang peran-peran penting tetap dikuasai oleh laki-laki. Padahal, mahasiswa sebagai kaum kritis dan intelektual, harusnya  bisa menganalisa adanya  kesenjangan tersebut. Dibanyak UKM misalnya, pemegang jabatan ketua masih  didominasi oleh laki-laki. Bukanlah karena tidak ada pihak perempuan disana. Tetapi lebih kepada ketidakmampuan mahasiswa dalam menafsirkan arti gender yang sesungguhnya. 
Di sebuah instansi atau perusahaan juga tidak luput dengan persoalan yang serupa. Mereka menganggap laki-lakilah yang lebih memiliki daya guna  lebih tinggi di dibanding  perempuan. Hal ini menimbulkan marginalisasi terhadap kemampuan dan potensi  perempuan itu sendiri. Bahkan mampu membentuk pemikiran buat apa kita sekolah tinggi-tinggi, itu tidak akan merubah nasib kita,  toh tempat kita nantinya tetap di dapur”.
Seolah persoalan bias gender  dianggap kesalahan yang dibenarkan. Dibenarkan oleh pemikiran kaku masyarakat kita, bahwa inilah yang benar. Kita boleh saja menghormati atau menganggap laki-laki suatu saat ada di atas perempuan. Tapi, hal itu tidak berlaku seterusnya, kadang kali harus ada kesejajaran dalam mengartikan bias gender yang sebenarnya.
 Penyebab
Banyak faktor yang menyebabkan adanya strata bias gender. Yang pertama adalah budaya , yang tanpa disadari  mampu mengacak-acak pembagian peran laki-laki dan perempuan . Budayalah yang membentuk pemikiran kita bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang bisa memasak,  yang selalu berada di rumah, jarang keluyuran.
Selain budaya, agama juga menjadi faktor pembeda yang cukup besar dalam hal mempengaruhi pemikiran masyarakat tentang bias gender. Tetapi, dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan agama sepenuhnya. Karena,  sebenarnya agama tidak bisa dijadikan objek sesalahan,  bukanlah agama yang secara langsung mengkonstruk adanya  bias gender. Yang justru keliru adalah pemikiran masyarakat  kita sendiri, bagaimana masyarakat mencerna, menafsirkan  ajaran gender dalam agama tanpa diolah terlebih dahulu.
Dalam islam, melalui kitab suci al-quran serta hadist nabi, banyak sekali dibahas  tentang bias gender. Bagaimana kedudukan seorang laki-laki, perempuan didalam keluarga dan masyarakat. Masyarakat menganggap dalam agama seorang perempuan tidak diperbolehkan menjadi seorang pemimpin.
Mengutip dalam sebuah ayat alquran yang artinya :”laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan”. Masyarakat menafsirkan ayat tersebut secara langsung tanpa mengkajinya terlebih dahulu. Padahal laki-laki disini juga dapat diganti dengan subjek perempuan yang memiliki sifat seperti laki-laki, yang adil, bijaksana, dan lain-lain.
Respon masyarakat
Respon masyarakat sangat baik, tetapi baik dalam artian mereka mampu mentradisikan bias gender secara kontinu, berlanjut. Mereka menganggap hal ini bukanlah masalah yang harus diperhitungkan. Mereka merasa enjoy- enjoy  saja hidup dengan keadaan yang seperti ini.Mungkin karena mereka belum tahu atau bagaimana?  Tapi mereka menganggap tradisi seperti ini dapat dibenarkan, karena berasal dari orangtua mereka.
Sebenarnya masih ada segelintir orang yang menyadari bias gender itu salah. Tapi mereka tidak mampu melawan budaya yang sudah mentradisi tersebut. Mereka tidak mampu mempengaruhi penerima bias gender yang massive , dan lebih memilih untuk diam sembari melihat sistem itu dijalankan dimasyarakat.
Tetapi ada hal yang mesti diketahui, meskipun mereka pasif terhadap masyarakat, bukan berarti mereka membiarkan keluarganya terkontaminasi atau terpengaruh tradisi tersebut. Mereka akan selalu menanamkan kesetaraan gender meski sebatas lingkungan keluarga.
Solusi konkret
Melihat fakta seperti itu, seakan membuat pikiran kita frustasi. Menganggap tidak ada, kalaupun ada pasti sangat sulit, untuk mencari solusi untuk mengurai permasalahan bias gender. Bias gender  di dalam masyarakat  seakan  sudah mendarah daging dan mentradisi. Tradisi yang terus – menerus diturunkan kepada anak turun kita.
Kita juga tidak boleh menyalahkan peran orangtua atau masyarakat  yang juga berperan langsung mensosialisasikan adanya bias gender. Karena, pada umumnya mereka belum sepenuhnya tahu ketidakadilan dalam bias gender, meskipun mereka sendiri mengalaminya. Mereka belum punya control social untuk menolak tradisi tersebut. Mereka masih bersifat naïf, sudah menyadari tapi belum ada tindakan nyata untuk merubahnya.
Sebagai agent of change, kita harus mensosialisasikan cita-cita mulia untuk merubah paradigma masyarakat tentang bias gender, bahwa ini adalah sebuah kekeliruan, kalian jangan mau seterusnya diperbudak oleh bias gender yang timpang ini.
Memang menurut agama, kususnya agama islam, meninggikan kedudukan laki – laki terkadang harus dilakukan. Tetapi, kalian harus menggarisbawahi,bahwa tidak untuk semua hal  kita meninggikan kedudukan laki-laki. Ada disaat bagaimana menempatkan laki – laki sejajar dengan perempuan.Kita harus lebih bijak dalam menafsirkan ayat-ayat al quran dan hadist nabi, tentang kedudukan gender.
Jika sudah muncul mindset yang seperti itu, kita hanya perlu mendorong mereka, kususnya kaum perempuan, untuk berjuang menerapkan persamaan dalam bias gender. Bahwa kita harus mampu mengulang sejarah emansipasi wanita yang pernah diudarakan oleh RA Kartini. Beliau tokoh yang mampu tampil dari desakan kaum laki – laki untuk menyuarakan hak – hak  perempuan. Kalau perlu, kita harus mampu menciptakan sebuah gerakan emansi wanita jilid dua.
Selain itu kita harus belajar dari sejarah Siti Aisyah, istri nabi. Beliau pernah menjadi panglima dalam perang. Bayangkan, padahal beliau seorang perempuan, tapi beliau mampu memimpim pasukan yang anggotanya semua laki-laki. Selain itu, beliau juga pernah menjadi seorang pengajar ketika nabi Muhammad masih hidup. Meskipun nabi Muhammad mengetahui hal tersebut, tapi beliau tidak pernah melarang Siti Aisyah untuk berhenti mengajar.
Hal itu cukup menggaransi bahwa bias gender itu tidak pernah dibenarkan, marjinalisasi terhadap peran perempuan juga harus dihapuskan. Kaum perempuan juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Tetapi tetap harus diingat, tuntutan hak tersebut harus dengan control social, dimana kaum perempuan harus memahami kapan saatnya hak laki-laki dan perempuan itu setara.





0 komentar:

Posting Komentar