my sense of imagination

ads1

Rabu, 15 Oktober 2014



MAKALAH

HADITS-HADITS TENTANG THAHARAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
HADITS II

Dosen Pengampu:
Dr. H. Abad Badruzaman, Lc., MAg.



















Disusun oleh :
Ahmad Mustamsikin Koiri        3231113003




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) TULUNGAGUNG
2012

KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk dan hidayah-Nya penulisan makalah ini dapat terselesaikan dan sampai di hadapan para pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya membawa manfaat yang sebesar-besarnya dan memberikan sumbangan yang berarti bagi pendidikan pada masa sekarang dan yang akan datang. 
            Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Yang telah membawa kita ke dunia yang penuh dengan kedamaian.
            Dengan terselesaikannya pembuatan makalah ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Dr. Maftukhin, M.Ag, selaku Ketua STAIN Tulungagung
2.      Dr.H. Abad Badruzaman, Lc., M.Ag. selaku dosen Pembimbing
3.      Semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
            Sebagaimana pepatah yang menyatakan tiada gading yang tak retak, maka penulisan makalah inipun tentunya banyak dijumpai kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan, agar kekurangan dan kelemahan  yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaat bagi pengembangan studi Islam pada umumnya.

                                                                                 Tulungagung,  September  2012
                                                                                                    
                                                                                                Penulis






DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL............................................................................................ i

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang  .................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C.     Tujuan Pembahasan ............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A.  Pengertian Thaharah............................................................................. 2
B.  Macam-Macam Air ..............................................................................  3
C.  Macam-Macam Najis dan Cara Menghilangkannya............................. 7
D.  Adab Membuang Air kecil................................................................... 10

BAB III PENUTUP
                  Kesimpulan ..........................................................................................  12
           
DAFTAR RUJUKAN

                                                                                 







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam beribadah syarat yang harus pertamakali harus diperhatikan dalam keabsahan ibadah adalah bersuci, bersuci atau yang dalam istilah arab dinamakan dengan thaharah, thaharah merupakan syarat yang wajip dipenuhi  bagi seseorang yang akan menjalankan ibadah, terutaama ibadah-ibadah seperti shalat, thawaf yang menuntut adannya  kesucian baik pakain badan dan tempat, maka dari itu thaharah menjadi syarat yang paling urgen sebelum menjalankan ibadah-ibadah tersebut.
Berkaitan dengan thaharah kami mencoba untuk menjelaskan bagaimana hadits-hadits Nabi Muhammad SAW membahas masalah-masalah tentang thaharah, dengan mengerahkan segenap kemapuan yang ada, kami dalam makalah ini akan mencoba menjelaskan bagaimana tanggapan hadits-hadits tersebut, tentunya hadits-hadits yang tidak terlepas dari tema kami dalam makalah ini yaitu hadits-hadits tentang thaharah.
Semoga dengan penjelasan yang akan kami uraikan dalam makalah ini sedikit atau banyak akan menambah wawasan bagi para pembaca terlebih pada teman-teman mahasiswa dalam memahami apa dan bagaimana hadits Nabi Muhammad SAW membahas tentang  tahaharah.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Thaharah ?
2. Berapakah Macam-Macam Air?
3   Berapakah dan Bagaimana Macam-Macam Najis dan Cara Menghilangkannya?
4. Bagaimana Adab Buang Air Kecil?

C.    Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Pengertian Thaharah
2. Mengetahui Macam-Macam Air
3. Mengetahui Macam-Macam Najis dan Cara Menghilangkannya
4. Mengetahui Adab Buang Air Kecil

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Thaharah
 Menurut kitab fiqhul mar’ah almuslimah karya Ibrahimm Muhammad Bin Jamal yang diterjemhakan oleh Anshari Umar Thaharah secara bahasa adalah bersih.[1] Sedangkan secara istilah thaharah berarti sucinya seseorang dari hadats maupun najis.
Menurut pendapat lain, thaharah berarti membersihkan badan, pakaian, dan tempat darimsegala najis[2], contoh ketika seseorang ingin mengerjakan shalat wajib bagi orang tersebut untuk orang tersebut melakukan wudlu dengan air bersih dan suci, memakai pakaian yang suci, serta menempati tempat yang suci.  Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran:
Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ  
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu, karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.[3]
Rasulullah bersabda :
دَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى ابْنِ عَامِرٍ يَعُودُهُ وَهُوَ مَرِيضٌ فَقَالَ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لِي
 يَا ابْنَ عُمَرَ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
“datang ibnu umar menjenguk ali ibnu ‘amir dan dia dalam keadaan sakit  kemudian ibnu amirin berkata apakah kamu berdoa pada  Allah untukku  wahai ibnu umar ibnu umar pun berkata “ aku mendengar rasul SAW bersabda tidak akan diteriama sholat tanpa bersuci,,,”.[4]                                   
Sebenarnya thaharah memiliki arti yang sangat luas.[5] Dan bisa kita golongkan menjahi beberapa golongan diantaranya:
1.      Membersihkan tubuh hadats dan najis.
2.      Memebersihkan anggota tubuh dari perbuatan dosa.
3.      Membersihkan jiwa, dari yang berahlak tercela atau rendah .
4.      Kesucian para Nabi, yakni kebersiahan hati mereka dan dari kemusyrikan kepada Allah.
Namun disini kami hanya akan mebahas salah satu dari keempat  golongan tersebut, yaitu mengenai bersih suci hadats, najis dan ditambah dengan adab membuang air kecil.
Thaharah dibagi menjadi dua macam, yaitu thaharah (bersuci) dari najis, thaharah (bersuci) dari hadats besar maupun kecil. Alat thaharah pada umumnya menggunakan air, jika tidak ada bisa menggunakan debu atau yang lainnya yang berifat kasar dan bisa menghilangkan najis.[6]

B.     Macam-macam air[7]
Ditinjau dari hukumnya, air dibagi menjadi empat macam, antara lain:
1.      Air Mutlak
Air Mutlak atau Thohir Muthohir (suci menyucikan), yang tidaka makruh untuk bersuci, yaitu air yang masih asli dan belum tercampur dengan benda lain yang terkena najis dan  bisa menghilangkan hadats dan najis. Air mutlak dibagi menjadi tuju macam.
 Sebelum mengetahui macam air mutlak kita perlu mengetahui terlebih dahulu dalil mengenai  diperbolehkannya air sebagai alat beresuci. Dalail bahwa dair merupakan alat yang dapat digunakan bersuci ialah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi  Umamah :
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خُلِقَ الْمَاءُ طَهُورًا لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَيَّرَ لَوْنَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ رِيحَهُ [8]
Dari Abi Umamah, sesuungguhnya Nabi SAW bersabda air itu dijadikan dalam keadaan suci  tidak menajiskannya sesuatu apaun kecuali berubah warna, rasa, dan baunya.
 Sedangkan macam-macam/pembagian air mutlak diantaranya sebagai berikut:
a.   Air hujan
Air hujan dapat digunakan bersuci berdasar hadits  Nabi SAW kitab sunan baihaki :
عن سعد بن أبي وقاص قال : لقد رأيتني مع النبي في ماء من السماء وإني لأدلك ظهره وأغسله[9]
Dari said bin abi waqas berkata: sungguh aku melihat diriku sendiri bersama  Nabi mengenai  air hujan dan aku  menggosok punggung nabi dan membasuh nya.
b.   Air laut,  mengenai kebolehan bersuci dengan air laut kami menukil hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah mengenai hukum air laut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي اَلْبَحْرِ: - هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُه[10] أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal." Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.[11]
c.   Air mata air
d.   air sungai
e.   air sumur
f.    air salju
g.   air embun[12]
Air sumur, air salju, dan air embun dapat digunakan bersuci seperti sabda nabi:
عن مجزأة بن زاهر الأسلمي قال سمعت عبد الله بن أبي أوفى قال كان النبي صلى الله عليه وآله وسلم يقول ….:اللهم طهرني بالثلج والبرد والماء البارد [13]
Dari madzah bin zahid al-islami berkata aku mendenagarkan dari abdilah bin abi aufa dia berkata bahwa nabi SAW berkata :….ya Allah sucikanlah aku dengan air salju air  embun , air yang dingin.
2.      Air Musta’mal
Air musta’mal ialah air bekas yang telah digunakn untuk berwudhu atau mandi besar. Ada salah satu pendapat yang air musta’mal itu dapat digunakan  untuk bersuci. Pendapat tersebut diungkapkan  dari Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ibnu Hazm
3.      Air Musyammas
Air yang dipanaskan dengan matahari (air musyammas), ialah air yang terjemur pada matahari dalam bejana selain emas dan perak tetapi dalam bejana yang terbuat dari logam yang dapat berkarat.[14] Air jenis ini suci dan menyucikan tetapi hukumnya makruh untuk digunakan karena dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit. Adapun air yang berada di dalam bejana bukan logam atau air yang dipanaskan bukan dengan matahari seperti direbus tidak termasuk dalam jenis air musyammas.
Mengenai hukum menggunakan air musyamas  dan akibat mengugunakannya, kami menukil dua hadits yang diriwayatkan dari sahabat  Jabir dan’ Aisyah ra.
عن جابر : أن عمر رضي الله عنه كان يكره الاغتسال بالماء المشمس وقال إنه يورث البرص[15]
”diriwayatkan dari jabir sesungguhnya umar ra memakruhkan mendi dengan air yang dipanaskan pada matahari karena menyebabakan penyakit lepra.”
عن عائشة رضي الله عنها قالت : أسخنت ماء في الشمس فقال النبي صلى الله عليه و سلم لا تفعلي يا حميراء فإنه يورث البرص
“Diriwayatkan dari Aisyah ra, sesungguhnya dia memanaskan air pada sinar matahari, maka Rasulullah bersabda kepadanya. "Jangan engkau berbuat begitu wahai humaira, karena sesungguhnya yang demikian itu akan menimbulkan penyakit barash (sapak)"”.
4.      Air Mutanajjis
Air Najis, yaitu air yang tadinya suci dan kurang dari dua kullah tetapi terkena najis walaupun tidak berubah sifatnya atau air yang lebih dari dua kullah terkena najis berubah salah satu sifatnya. Air jenis ini tidak sah bila digunakan untuk berwudhu, mandi atau menyucikan benda yang terkena najis.
Adapun criteria air yang dapat menaggung najis adalah dua kulah seperti hadits nabi:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ - صلى الله عليه وسلم - - إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ - أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ[16]
“Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.”
وَلِلْبَيْهَقِيِّ: - اَلْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ; بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ[17]
“Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: "Air itu suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya."
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: - إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ - وَفِي لَفْظٍ: - لَمْ يَنْجُسْ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ. وَابْنُ حِبَّانَ .[18]
”Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis". Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.

C.    Macam-Macam Najis dan Cara Menghilangkannya
Sebelum kita mengetahui macam-macam najis dan cara menghilangkannya terlebih dahulu kita mengetahi pengertian hadits. Najis adalah sesuatu yang menghalangi sahnya ibadah.[19] 
1.      Najis Mukhaffafah (ringan)
Yang termasuk dalam najis ringan adalah air kencing anak laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan atau minum sesuatu selain ASI.
Cara menghilangkan najis mukhofafah ialah denagan dipercikkan air seperti sabda nabi:
وَعَنْ أَبِي اَلسَّمْحِ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - - يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَامِ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم
“Dari Abu Samah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Bekas air kencing bayi perempuan harus dicuci dan bekas air kencing bayi laki-laki cukup diperciki dengan air." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i. Oleh Hakim hadits ini dinilai shahih.”[20]
2.      Najis Mutawassithah (sedang)
Yang termasuk kelompok najis ini adalah :
a.       Bangkai
Yang dimaksud bangkai adalah binatang yang mati karena tidak disembelih ata disembelih tidak menurut aturan syariat Islam, termasuk bagian tubuh dari hewan yang dipotong ketika masih hidup.
وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اَللَّيْثِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - - مَا قُطِعَ مِنْ اَلْبَهِيمَةِ -وَهِيَ حَيَّةٌ- فَهُوَ مَيِّتٌ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ
"Segala sesuatu (anggota tubuh) yang dipotong dari binatang yang masih hidup termasuk bangkai". (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Bangkai yang tidak termasuk najis adalah ikan dan belalang, keduanya halal untuk dimakan.
b.      Darah
Semua macam darah termasuk najis, kecuali darah yang sedikit seperti darah nyamuk yang menempel pada badan atau pakaian maka hal itu dapat dimaafkan.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur Í ….ƒÌYσø:$#
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi." (QS. Al-Maidah : 3).
c.       Nanah
d.      Muntah
e.       Kotoran manusia dan binatang
f.       Arak (khamar)
Semua benda yang memabukkan termasuk benda najis, berdasarkan firman Allah :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan." (QS. Al-Maidah : 90).
Najis mutawashithah terbagi dua[21], yaitu :
(1)   Najis 'Ainiyah, yaitu najis mutawashitah yang masih kelihatan wujudnya, warnanya dan baunya. Cara membersihkannya dengan menghilangkan najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang warna, bau dan rasanya[22].
(2)   Najis Hukmiyah, yaitu najis yang diyakini adanya tetapi sudah tidak kelihatan wujudnya, warnanya dan baunya. Cara membersihkannya cukup dengan menggenangi/menyirami air mutlaq pada tempat yang terkena najis hukmiyah tersebut.[23]
3.      Najis Mughallazhah (berat)
Yang termasuk najis ini adalah air liur dan kotoran anjing dan babi. Cara menghilangkan najis mughallazah adalah dengan menyuci najis tersebut sebanyak tujuh kali dengan air dan salah satunya dengan memakan debu yang suci. Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذْ وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ - أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
"Sucinya tempat dan peralatan salah seorang kaamu, apabila dijilat anjing hendaklah dicuci tujuh kali, salah satunya dengan debu (tanah)." (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Beberapa contoh najis dan cara membersihkannnya

1.      Menyucikan kulit bangkai[24]dengan disamak

Seperti sabda nabi :
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - دِبَاغُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ طُهُورُهاَ - صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
Dari Salamah Ibnu al-Muhabbiq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Menyamak kulit bangkai adalah mensucikannya." Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.[25]

2.      Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh         

Cara menyucikan darah haid adalah dengan menghiklangkan darahnya terlebih dahulu kemudian di cuci dengan air seperti hdits berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ « تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ».[26]
“Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah. Kemudian shalatlah dengannya.”[27]

3.      Menyucikan tanah

Cara menyucikan tanah ialah dengan menyiramkankan air di atasnya seprti hdits:
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: - جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ اَلْمَسْجِدِ, فَزَجَرَهُ اَلنَّاسُ, فَنَهَاهُمْ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ; فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: "Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu." Muttafaq Alaihi.”[28]

D.    Adab Buang Air Kecil[29]
1.      Dilarang memegang kemaluan dengan tangan kanan saat kencing, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Qotadah RA bahwa Nabi saw bersabda:
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنْ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ
"Hadis riwayat Abdullah bin Abu Qatadah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanan saat kencing. Jangan beristinja dengan tangan kanan. Dan janganlah bernafas dalam wadah (minuman)."

2.      Dibolehkan kencing dengan berdiri[30] dan duduk. Kebolehan kencing secara berdiri harus memenuhi dua syarat, yaitu:
§  Aman dari jipratan kencing.
§  Aman dari pandangan orang lain.
3.      Dilarang kencing di tempat yang tergenang berdasarkan hadits:
عَنْ جَابِرٍعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ
”Dari jabir dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau melarang kencing pada air yang tergenang".[31]














BAB III
KESIMPULAN

Thaharah secara bahasa adalah bersih. Sedangkan secara istilah thaharah berarti sucinya seseorang dari hadats maupun najis.
Dari hukumnya, air dibagi menjadi empat macam, yaitu: air mutlak, air muslta’mal, air musyamas,dan mutanajjis. Nsedangkan air mutlak itu dibagi menjadi tuju yaitu: air hujan,  air laut, air mata air, air sungai, air sumur, air salju, dan air embun.
Macam-macam najis ada tiga yaitu: najis mukhafafah (ringan),  najis mutawashithah (sedang), dan najis mughallazhah (berat). Sedangkan najis mutawasithah itu ada dua yaitu: najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah. Cara menghilangkan najis mukhofafah ialah denagan dipercikkan air, cara menghilangkan najis mutawasithah ‘ainiyah dengan membersihkannya dengan menghilangkan najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang warna, bau dan rasanya, sedang najis mutawasithah hukmiyah degan cara membersihkannya cukup dengan menggenangi/menyirami air mutlaq pada tempat yang terkena najis hukmiyah tersebut, najis yang terakhir adalah najis mughalladzah dengan menghilangkan najis mughallazah adalah dengan menyuci najis tersebut sebanyak tujuh kali dengan air dan salah satunya dengan memakan debu yang suci.
Adab membuang air kecil ada tiga yaitu: dilarang memegang kemaluan dengan tangan kanan saat kencing, dibolehkan kencing dengan berdiri dan duduk tetapi kebolehannya tersebut dengan syarat aman dari jipratan kencing dan aman dari pandangan orang lain, dan dilarang kencing di air yang tergenang.








DAFATAR RUJUKAN

Jama al-, Ibrahim Muhammad, Anshori Umar, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Fiqih Wanita, Semarang: cv Asy Syifa, 1978.

Asqolani al-, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004.

Mas’ud Ibnu,  Fiqih Madzhab Syafi’i, Bandung: cv. Pustaka Setia, Cet II, 2007.

Naysaburi al-,  Abu Muslim al-Hasan, bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusayri,Shahih Muslim,Bairut: Dar al-Jayal Darul Afak al-Jadidah, t.th.

Qardawi Yusuf, Fiqih Wanita , Segala hal Mengenai Wanita, Bandung : Jabal, Cet II, 2007.

Mawardi al-, al-Hawi Fi Fiqwhi al-Safi’I, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1944.

Baihaki al-, Ahmad Bin al-Hasan, bin Ali bin Musa Abu Bakar,Sunan Al-Baihaki Al-Kubra, Makah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz,1994.

Saukani al-,  Muhamman bin Ali bin Muhammad, Nailul Author,t.t.p: Idarat At-Thaba’ah al-Muanairiyah,t.th.

Ghuzi al-, Muhammad Ibnu al-Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Toha Putra, t.th.

Qazuni al-, Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid,Sunan Ibnu Majah, t.tp,t.th.

CD. maktabah syamilah, t.th.

Majid bin Su'ud al-Usyan, diterjemahkan oleh Muzafar Sahidu bin Mahsun, Adab Buang Hajat, t.t.p: 2009.





[1]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Anshori Umar, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah,  Fiqih Wanita, (Semarang: cv Asy Syifa, 1978), hlm. 28. Lihat  Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugh al-Maram,(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004),  hlm. 11.
[2]Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’i, ( Bandung: cv. Pustaka Setia, Cet II, 2007), hlm. 22.
[3]Surat Al-Baqarah  Ayat  22
[4]Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusayri al-Naysaburi,Shahih Muslim,Vol II, ( Bairut: Dar al-Jayal Darul Afak al-Jadidah,[tt]),  hlm. 5.
[5]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Anshori Umar, Fiqhul …, hlm. 29.
[6]Yusuf Qardawi, Fiqih Wanita , Segala Hal Mengenai Wanita, ( Bandung : Jabal, Cet II, 2007),  hlm. 274.
[7]Ibid, hlm. 274.
[8]Al- Mawardi, al-Hawi Fi Fiqwhi al-Safi’i Vol I, ( Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,1944), hlm 36.
[9]Ahmad bin al-Hasan bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaki,Sunan al-Baihaki al-Kubra, Vol I, (Makah al-Mukarramah: Maktabah Dar Al-Baz,1994 ),  hlm. 5.
[10]Muhamman bin Ali bin Muhammad Al-Saukani, Nailul Author Vol I, (Idarat At-Thaba’ah  al-Muanairiyah, [tt]), hlm. 16.
[11]Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugh…, hlm. 9.                                                                      
[12] Muhammad Ibnu al-Qasim al-Ghuzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Semarang: Toha Putra, 2005), hlm. 3.
[13]Ahmad bin al-Hasan bin Ali Bin Musa Abu Bakar al-Baihaki,Sunan…, Vol IV hlm. 110.
[14] Muhammad Ibnu  al-Qasim al-Ghuzi, Fath…, hlm. 3.
[15]Ahmad bin al-Hasan bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaki,Sunan…, Vol IV hlm. 6.
[16]Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugh…, hlm. 11. status hadits  ini adalah  dhoif  yang  diriwayatkan Ibnu Majjah
[17]Ibid,  hlm. 11. Status hadits  ini adalah  dhoif yang diriwayatkan Imam Baihaki
[18] Ibid, hlm. 11. Status hadits  ini adalah shohih yang diriwayatkan  Abu Daud
[19] Nurul Hasanah, dkk, Modul Fikih, (Jakarta: Hilmi Putra, 2010), hlm. 3.
[20] Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugh…,hlm. 15.
[21]Nurul Hasanah, dkk, Modul Fikih…, hlm. 3.
[22]Muhammad Ibnu al-Qasima al-Ghuzi, Fath…, hlm. 10.
[23]Ibid, hlm. 15.
[24]Bangkai  adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.
[25]Ibid, hlm. 14.
[26]Abu al-Hasan Muslim Bina al-Hajaj Bin Muslim al-Qusayri Al-Naysaburi,Shahih …Vol I,  hlm. 344.
[27]HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[28]Ibnu Hajar Al-Asqolani,  Bulugh…, hlm. 13.
[29] Majid bin Su'ud al-Usyan, diterjemahkan oleh  Muzafar Sahidu bin Mahsun,
Adab Buang Hajat( t.t.p:2009) hlm. 3.
[30] Seperti yang diriwayatkan oleh Huzaifah t bahwa dia menceritakan: Aku dan Nabi SAW ingin kencing maka beliau menjauh sampai mendatangi tempat membuang sampah suatu kaum, di belakang sebuah tembok maka beliau berdiri sebagaimana berdirinya salah seorang di antara kalian maka beliau kencing maka akupun menjauh darinya, lalu beliau memberikan isyarat kepadaku untuk mendatanginya, maka akupun datang kepadanya lalu berdiri dibelakangnya sampai beliau selesai kencing. HR. Bukhari no: 225, Muslim no: 273, dan Ibnul Qoyyim menyebutkan alasan kenapa Nabi SAW kencing secara berdiri, yaitu agar terhindar dan tidak terkena jipratan kencing sebab beliau mengerjakan hal ini ketika mendatangi tembok tempat membuang sampah suatu kaum….(Zadul Ma'ad 1/43).
Adapun hadits A'isyah radhiallahu anha yang mengatakan: "Siapakah yang memberitahukan kepadamu bahwa Rasulullah SAW kencing dengan berdiri maka janganlah engkau mempercayainya, beliau tidak pernah kencing kecuali dengan cara duduk". HR. Al-Nasa'I no: 29, dan dishahihkan oleh Al-Bani diartikan sebagai kebiasaan yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah SAW, dan lembaga tetap bagian riset dan fatwa Saudi Arabia memfatwakan bahwa jika seseorang kencing secara berdiri tanpa hajat yang menuntut, maka dia tidak berdosa namun dia telah menyalahi adab yang lebih baik dan yang paling sering dikerjakan oleh Rasulullah SAW.
[31]HR. Sunan Ibnu Majah no: 337                                                                                                                                   

0 komentar:

Posting Komentar