my sense of imagination

ads1

Rabu, 15 Oktober 2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Quran merupakan kitab yang menjadi pedoman dalam kehidupan dan sumber dari pengetahuan manusia secara umum. Hal ini dikarenakan apa yang tertera dalam al-Quran secara konteks semua sesuai dengan  realita dan interaksi sosial serta yang dihasilkan oleh keduanya yaitu budaya. Dan dari periode ke periode akan terus membutuhkan kajian khusus sehingga al-Quran tetap fleksibel dan proporsional kapanpun dan dimanapun tempatnya.

B.  Rumusan Masalah
1.    Siapakah Muhammad Syahrur?
2.    Bagaimana cara pandang Syahrur terhadap al-Quran?
3.    Bagaimana konsep hermeneutika Syahrur?

C.  Tujuan pembahasan
1.    Untuk mengetahui tokohMuhammad Syahrur.
2.    Untuk mengetahui cara pandang / pemikiran Muhammad Syahrur tentang al-Quran.
3.    Untuk mengetahui konsep hermeneutika al-Quran Muhammad Syahrur.







BAB II
PEMBAHASAN
A.   Berkenalan dengan Syahrur
1.      Latar belakang tokoh
Muhammad Syahrur dilahirkan pada tanggal 11 April 1938M di Damaskus[1], Syria.Ia merupakan anak kelima dari seorang tukang celup kain yang bernama Daib. Sedangkan ibunya bernama Siddiqah binti Shaleh Filyun.Ia menikah dengan ‘Azizah dan dikarunia lima orang anak yaitu Thariq (beristrikan Rihab), al-Laits (beristrikan Olga), Rima (bersuamikan Luis), sedangkan yang dua lagi adalah aBasil, dan Mashun. Adapun dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan.Perhatian dan kasih sayang Syahrur kepada keluarganya begitu besar.Hal ini terbukti dengan selalu menyebutkan nama-nama mereka dalam persembahan karya-karyanya. Selain itu, juga tampak dalam penyelenggaraan pernikahan anak perempuanya, Rima, yang dirayakan dengan mengundang para tokoh-tokoh agama dan bahkan tokoh politik dari partai Bath, partai paling berpengaruh di Syiria saat itu.
Pemikirannya sering dianggap fenomenal sekaligus kontroversial.Sejak muda Syahrur terkenal dengan anak yang cerdas.Dibuktikan dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Syiria ke Moskow, Rusia untuk melanjutkan kuliah di bidang Teknik Sipil (al-handasah al-madaniyyah) pada Maret 1957. Jenjang pendidikan ini ditempuhnya selama lima tahun mulai 1959 hingga berhasil meraih gelar Diploma (S1) pada tahun 1964. Kemudian kembali ke negara asalnya mengabdikan diri pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus hingga tahun 1965. Dalam waktu yang tidak lama, Universitas Damaskus mengutusnya ke Dublin Irlandia tepatnya di Ireland National University (al-Jami‘ah al-Qaumiyah al-Irilandiyah) guna melanjutkan studinya pada jenjang Magister dan Doktoral dalam bidang yang sama dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi (Mikanika Turbat wa Asasat).
Pada tahun 1969 Syahrur meraih gelar Master dan tiga tahun kemudian, tahun 1972, beliau behasil menyelesaikan program Doktoralnya. Pada tahun yang sama ia diangkat secara resmi menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dan mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi (Mikanika at-Turbat wa al-Mansya’at al-Ardhiyyah). Perlu diketahui Syahrur tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan ia juga tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu ke-Islaman.
Dari karya yang pernah ditulisnya diantaranya, Al-Kitab wa Al-Qur’an–Qira’ah Mu’ashirah (1990), Al-Daulah wa al-Mujtama’(1994), Al-Islam wa al-Iman–Manzhumah al-Qiyam(1996), Nahw Ushul al-Jadidah Li al-Fiqh al-Islamy (2000), dan Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008). Dari beberapa karyanya tersebut yang paling mendapatkan perhatian yakni Al-Kitab wa Al-Qur’an –Qira’ah Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran) dan Nahw Ushul al-Jadidah Li al-Fiqh al-Islamy (Metodologi Fiqih Islam Kontemporer). Karya monumentalnya, Al Kitab wa Al Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran) merupakan karya terbesarnya. Namun tulisannya tersebut dibantah 15 buku dalam waktu singkat setelah terbit di Damaskus pada tahun 90-an.
Sahrur juga terbilang sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syari’at dan dekonstruksi tafsir al-Qur’an.Beberapa hukum Islam dan kaidah ilmu tafsir dan ushul fikih didekonstruksinya dengan berbekal ilmu teknik dan mengandalkan asal-usul keArabannya. Latar belakang lingkungan, baik pendidikan dan pergaulannya, juga mempengaruhi cara berpikir dalam karya-karyanya.

2.      Syahrur membicara al-Quran
Al-Quran dalam artian popular , atau Syahrur menyebutnya dengan kata al-Kitab terbagi dalam tiga macam yaitu: umm al-kitab (ayat-ayat muhkamat), al-quran wa al-sab’al matsani  (ayat-ayat mutasyabihat), dan tafsil al–kitab. Hasil interaksi imtelektusl umat islam  denganummul kitab pada suatu masa bisa berbeda dengan hasil interaksi mereka yang hidup dizaman yang berbeda. Dengan demikian menurut syahrur, praktek penerapan hukum pada masa nabi (sunnah) hanyalah model penafsiran , dan bukan satu-satunya bentuk aplikasi hukumummul kitab yang sesuai sepanjang masa. Kondisi yang relatif ini kemudian disebutnya sebagai hanifiyyah.[2]
Al-Kitabia gunakan untuk istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf), yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Naas. Sementara Al-Qur’an adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah dan bersifat istiqamah yang berarti garis lurus, tetap, tidak berubah yang di dalamnya terkandung kumpulan informasi dan pengetahuan tentang alam dan sejarah sehingga dapat  dibedakan antara benar dan salah pada alam wujud (realitas empiris). Jadi al-Qur’an yang berdimensi Nubuwwah bersifat objektif di mana ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar kesadaran manusia.
Sementara Umm al-Kitab merupakan salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah dan bersifat hanifiyyah yang berarti penyimpangan dari garis lurus, tidak tetap, berubah, dan elastis.Di dalamnya terkandung kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu’amalah, akhlak, dan hukum halal haram.Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di dalam berprilaku.Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau kelompok istilah, antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur’an, imam mubin/kitab mubin, ummul kitab/lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt, mu’min/muslim, uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan secara terpisah.
Pandangan Syahrur dalam pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur’an bersifat tetap, tidak bisa berubah teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi dalam konteks Ummul kitab, ijtihad tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan nash dzahir diperoleh (qath’i). Dengan konsep itu, Syahrur secara blak-blakan telah mendekonstruksi konsep ijtihad yang dipahami para ulama.Dia menyatakan bahwa, “ijtihad hanya terdapat pada teks suci”.Adapun kaidah yang mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad tentang sesuatu yang telah disebutkan dalam teks.Ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum menurut kesesuaiannya dengan realitas.Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang benar dan diterima jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan pembacaan historis.Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolok ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah.

3.      Konsep Hermeneutik Syahrur dan Aplikasinya
Hermeneutika Syahrur dari klasifikasi istilah secara kebahasaan, menyodorkan rumusan dalam interpretasi ayat-ayat hukum dengan memaparkan tiga teori filsafat. Pertama, kondisi berada (dassein, being). Kedua, kondisi berproses (der prozess, the process).Ketiga, kondisi menjadi (das warden, becoming). Ia menyatakan, “Ketiga kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan dalam filsafat dan landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan), naturalistik (alam), dan antropologis (manusia), dengan memandang bahwa kondisi berada atau being adalah awal dari sesuatu yang ada, dan proses adalah gerak perjalanan masa, dan menjadi adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi keberadaan pertama setelah melalui fase berproses.
Keniscayaan antara tiga kondisi tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak terkait dengan kondisi lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah kondisi khusus yang terbatasi dalam setting sosial, bukan nash yang ada dalam ayat tersurat dalam al-Qur’an. Syahrur menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif (qanun al-nafy wa nafy al-nafy: hukum negasi dan penegasian negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal. Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm al-Kitab, walaupun sifatnya qath’i dan dipahami secara dzahir dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi penegasian hukum melalui proses waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum baru sesuai dengan kondisi dan situasi sosial zamannya yang menyebabkan keniscayaan penafsiran yang relatif.
Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun beridentitas sebagai Nabi dan Rosul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masarakat pada waktu itu, artinya ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat Alqur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
Syahrur berpendapat dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus.Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum.
Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat.Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut.

1.  Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal).
Untuk kasus ini dapat ditemui  pada QS. Al-Maidah ayat 38 mengenai pencuri.Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka.Potong tangan disini adalah hukuman maksimum.Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan mempertimbangkan kondisi saat itu.
2.  Halah al-hadd al-adna(posisi batas minimal)
Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan dalam kondisi apapun tidak diperbolehkan meskipun telah melakukan proses ijtihad. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisa’: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);…
Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat tersebut, meskipun didasarkan pada ijtihad.
3. Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an(posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal).
Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan hukum secara mutlak).Batasan ini berlaku pada pembagian harta warisan.
4.  Halah al-mustaqim(posisi lurus tanpa alternatif)
Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 kali tidak boleh kurang dan tidak bleh lebih.
5.Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan).
Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
6.   Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban(posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif)
Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan.Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan).
Wilayah ijtihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum tersebut.Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-ullah (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah.
Melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamat secara produktif dan prospektif (qira’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qira’ah mutakarrirah). Dan dengan teori limit juga, Syahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqamah) serta gerak dinamis dan lentur (hanifiiyah).Nah, sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia.Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial.Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam (tasyri’), sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus.
Contoh aplikasi dalam teori batas mengenai pakaian dan aurat wanita.ketika menafsirkan QS. An-Nuur: 31,
Írr&È@øÿÏeÜ9$#šúïÏ%©!$#óOs9(#rãygôàtƒ4n?tãÏNºuöqtãÏä!$|¡ÏiY9$#
“Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat. Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat.


BAB III
PUNUTUP

KESIMPULAN
Pendekatan bahasa yang dilakukan Syahrur dalam mengkaji al-Qur’an akhirnya membuat dia menarik suatu kesimpulan bahwa produk hukumnya sangat tergantung pada konteks sosio-kultural. Syahrur menganggap perlu adanya reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dengan harapan terjadi sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun dan dimanapun. Fokus Syahrur terhadap nash-nash al-Qur’an membuat dia tidak mempercayai al-Sunnah al-Nabawiyyah sebagai sumber hukum juga.Baginya, al-Qur’an sudah cukup karena ayat-ayatnya telah memuat aturan-aturan untuk menjawab realita kehidupan.Untuk merealisasikan idenya itu Syahrur mengkonsep Teori Limit (Nazariyyat al-Hudud).
Dengan Teori Limitnya ini, Syahrur mencoba menerapkan nash-nash muhkamat al-Qur’an ke dalam realita kehidupan dengan batasan-batasannya.Hukum-hukum di dalam al-Qur’an menurutnya bersifat elastis yang bisa ditarik dan disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman.Kondisi masyarakat berada pada ruang lingkup batasan tersebut, dan selama tidak melewati batasan yang telah ditetapkan, hukumnya boleh untuk dilakukan.
Tapi kenyataannya Syahrur banyak terjebak pada kesalahan fatal dalam aplikasi teori batasnya.Kecintaannya pada filsafat Marxisme dan pemaksaannya dalam menggunakan hermeneutika filologi menggiringnya kepada konsep-konsep dan produk hukum al-Qur’an yang di mata pemakalah terasa nyeleneh.Ini bisa dilihat dari pemaparannya tentang hukum ayat-ayat hijab dan hubungan laki-laki dengan perempuan sebaimana diterangkan di atas.


[1] Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Quran Kontemporer, (Yogyakarta: El-saq, 2007), hlm.137
[2] Sahiron Syamsuddin, dalam Studi Al-Quran Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002) hlm. 135

0 komentar:

Posting Komentar