my sense of imagination

ads1

Minggu, 24 Agustus 2014

HADISH MUTAWATIR
DIGUNAKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS ULUMUL HADITS
Dosen : H. Muh. Khoirul Rifa’i,M.Pd.i
Disusun oleh :

Kelompok 8
Nama anggota

1.     Mei Lia Dwi Anjar Sari                 (2814133112)
2.     Miftahul Ma’ruf                              (2814133113)
3.     M. Rizal Sukma                               (2814133119)

Fakultas/jurusan:

FTIK/Tadris Matematika

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (iain) TULUNGAGUNG

Tahun Ajaran 2014/2015



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
            Dengan segala kerendahan hati, izinkan kami memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT yang senantiasa membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang dalam menegakakan agama-Nya serta makalah yang membahas tentang “Hadits Mutawatir” dapat penulis selesaikan. Shalawat serta salam tak pernah putus kita sampaikan kepada pimpinan sekaligus guru peradaban dunia Nabi Muhammad SAW yang banyak memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.
            Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen dan rekan-rekan yang membantu penulis dalam memberikan masukan dan pendapat terhadap makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
            Kami  menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kepada para pembaca dan para pakar di mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah dan guna meningkatkan kualitas dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wasssalamu’alaikum Warohmatullah Wabarakatuh.




Tulungagung, 12 Juni 2014



Penulis




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR......................................................................................................     i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................     ii

BAB I :    PENDAHULUAN
Latarbelakang............................................................................................................    1
Rumusan masalah ...................................................................................................   1

BAB II :   PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Hadist Mutawatir...................................................................       2
2.2     Syarat-Syarat Hadits Mutawatir............................................................       2
2.3     Hukum Hadits Mutawatir......................................................................... 3
2.4    Pembagian Hadits Mutawatir..................................................................       3

BAB III : PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................................            5
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................   6




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi  kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadits. Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir
1.2  Rumusan Masalah
A.    Apa pengertian dari hadish Mutawatir ?
B.     Apa syarat-syarat dari hadist Mutawatir ?
C.     Apa hukum dari hadist Mutawatir ?
D.    Bagaimana pembagian dari hadist Mutawatir ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).[1][1]
Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah:
حُوَ خَبْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يُجِبُ فيِ العَادَةِ اِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ و تَوَاطُئِحِمْ عَلى الْكَذِبِ
Artinya: “Khabar yang di dasarkan pada pancaindera yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.
2.2 Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)      Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera.
2)      Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.
3)      Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan)  pertama maupun thabaqat berikutnya.
4)      Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits

2.3 Hukum  Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir  sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.[2][2]
2.4 Pembagian Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni :
1.      Hadits mutawatir lafzhi
Yang dimaksud hadits mutawatir lafzi adalah:
ما تواترت روايته على لفظ واحد
Artinya: “Hadits yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzhi.”[3][3]
Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang makna dan lafadznya memang mutawatir. Maknanya semua sama. Tetapi perbedaan lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali, maka yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama betul-betul.
Contohnya :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa berdusta atas namaku (Rasullah) secara sengaja, maka kehendaknya ia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka.”[4][4]
Keterangan :
Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :
من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya : “Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”. (Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya : ”Danbarang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”. (Hakim)
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
Dari ketiga contoh itu, maka yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama betul-betul.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.

2.      Hadis mutawatir ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi ialah:
ما تواتر معناه دونلفظه
Artinya: “Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”
hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.[5][5]
Contoh hadits ini adalah:
وقال ابو موسى الأشعرى دعا النبي صلى الله عله وسلم ثم رفع يديه ورأيت بياض ابطيه
Artinya: “Abu Musa Al-‘Asyari berkata: Nabi SAW berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.”[6][6]
Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar 100 hadits. Masing-masing hadits menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadits) terkait dengan berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda.




3.       Hadis mutawatir ‘amali
Yang dimaksud dengan hadis ini ialah:
ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبي صلى الله عليه وسلم فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف الإجماع إنطباقا صحيحا
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”
Macam hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.7[[7]]












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut). Sedangkan menurut istilahadalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya.
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.)    Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera.
2.)    Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.
3.)    Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.
4.)    Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir  sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni Mutawatir Lafzi dan Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi tiga, yakni Hadits Mutawatir Lafzi, Ma’nawi, dan ‘Amali.




DAFTAR PUSTAKA

Ath-Thahan, Mahmud. Taisir  Musthalah Al-Hadis, hlm. 19.
Ath-Thahan, Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, Penerjemah;  Abu Fuad. Bogor: Pustaka Thanqul Izzah.  2006.
SupartaMunzier.  Ilmu Hadits. Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada. 1996. hlm. 90-91
SupartaMunzier. Ilmu Hadis. .Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada. 2006. hlm. 87
Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung. 1974. hlm. 79

Sumber lainnya:




[1][1]Mahmud Ath-Thahan, Taisir  Musthalah Al-Hadis, hlm. 19.
[2][3]Fathur Rahman,  Ikhtisar Musthathalah al Hadits. (Bandung                                             [2][2]Fathur Rahman,  Ikhtisar Musthathalah al Hadits. (Bandung: Al Ma’arif, 1974), hlm.79.
[3][3]Munzier Suparta,  Ilmu Hadits, (Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 87.
4[4]Diriwayatkan oleh Bukhari I/434 No.1229, dan Muslim I/10 No.3).

[6][6]Munzier Supart, Ilmu....,  hlm. 90.

[7] [7] Munzier Supart, Ilmu....,  hlm. 90.



0 komentar:

Posting Komentar