my sense of imagination

ads1

Minggu, 24 Agustus 2014

TUGAS MAKALAH SEJARAH HADITS PADA PERIODE NABI MUHAMMAD SAW
MATA KULIAH:
‘ULUMUL HADITS
Dosen Pembimbing :
H.Moh.Khoirul Rifa’i, M.Pd.I


KELOMPOK3
Anggota :
1.             Lily Nur Chumaidah             (2814133100)
2.             Mei Fitriawati                         (2814133111)
3.             Mohamad Muchib Azhari     (2814133118)
FAKULTAS : TARBIYAH dan ILMU KEGURUAN
PRODI : TMT-2D
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
            TULUNGAGUNG TAHUN 2013/2014


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kamiucapkan kehadirat Allah Swt. Karena berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam juga tidak lupa kita curahkan kepada nabi Muhammad SAW. beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Adapun judul makalah ini yaitu ” Sejarah Hadits pada Periode Nabi Muhammad SAW ”.
Makalah ini, kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Ulumul Haditspada Program Studi Tadris Matematika IAIN Tulungagung. Tujuan dalam penyusunan makalah ini untuk mendeskripsikan tentang perkembangan hadits pada masa Nabi Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini pula, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen  pengampu mata kuliah ‘Ulumul Haditsyang telah membimbing kami.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik untuk kelompok kami ataupun bagi pembaca serta dapat menambahkan wawasan dan meningkatkan pengetahuan tentang perkembangan hadits pada masa Nabi Muhammad.

Kediri, 04 April 2014
Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A.Latar Belakang 4
B.Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Pembahasan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
1.      Hadits Nabi pada Periode Abad I 5
a.Langkah-Langkah Nabi dalam Menyebarkan Hadits 5
b. Metode Pengajaran Nabi 6
c. Cara Shahabat Nabi dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits 9
d.Ulama Penulis Hadits beserta Kitab Karangannya 10

BAB IIIPENUTUP 13
Kesimpulan 13
Saran 13
Daftar Pertanyaan 14
DAFTAR PUSTAKA 16



BAB I

A.  Latar Belakang
Hadits Nabi (Rasulullah) saw yang sampai kepada kita dalam bentuk penuturan maupun tulisan adalah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Jika al-Qur’an sejak zaman Nabi sampai terwujudnya pembukuan (mushaf) sebagaimana kita saksikan hari ini memerlukan waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 15 tahun, maka untuk hadits Nabi memerlukan waktu yang relatif panjang dan penuh variasi. Oleh karena itu mengetahui sejarah perkembangan yang dilalui, sejak masa Rasulullah saw masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin sampai masa pembukuan dan penyempurnaan sistematikanya menjadi sangat penting.
Jika periwayatan dan penuturan al-Qur’an harus disampaikan dengan menjaga kepersisan dan ketepatan redaksinya (riwayat bi al-lafdzi), maka penuturan  hadits Nabi boleh diriwayatkan bi al-ma’na (ditekankan pada kebenaran maknanya, bukan redaksinya). Oleh karena itu keragaman redaksi hadits     tidak dapat dielakkan. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang sejarah perkembangan dan pembukuan hadits Nabi akan membantu memahami usaha yang dilakukan Nabi saw bersama para sahabat dan para ulama dalam menjaga otentisitas hadits Nabi saw.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja langkah-langkah yang dilakukan nabi dalam menyebarkan hadits ?
2.      Bagaimana metode yang dilakukan nabi ketika mengajarkanhadits ?
3.      Bagaimana cara shahabat nabi dalam menerima dan menyampaikan hadits ?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mahasiswa mampu memahami langkah-langkah yang dilakukan nabi dalam menyebarkan hadits.
2.      Mahasiswa mampu memahami metode yang dilakukan nabi ketika mengajarkan hadits.
3.      Mahasiswa mampu memahami cara shahabat nabi dalam menerima dan menyampaikan hadits.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Hadits Nabi pada Periode Abad I H
Periode abad I H ini meliputi zaman Nabi saw, Sahabat Nabidan zaman Tabi’in besar (senior) di masa pemerintahan Bani Umayah, yaitu akhir abad I H.
Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan masa turunnya wahyu , termasuk masa wurudnya hadits Nabi saw. Wahyu yang diterima oleh Nabi saw dijelaskan melalui perkataan, perbuatan, persetujuan dan sikap yang melekat dalam sifat-sifat beliau. Oleh karena itu apa yang didengar, dilihat, disaksikan dan dirasa (melalui internalisasi nilai) oleh para sahabat, dijadikan sebagai pedoman bagi amal ibadah mereka. Dalam hal ini Nabi saw merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena beliau memiliki sifat-sifat sempurna selaku Rasulullah, yang berbeda dengan manusia lainnya. Oleh karena hadits merupakan bagian penting dari wahyu yang diterima Nabi, maka dalam rangka menyosialisasikan, ditempuh upaya sebagai berikut:
a. Langkah-Langkah Nabi saw dalam Menyebarkan Hadits/Sunnah
1. Mendirikan sekolah
Ketika Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan mendirikan semacam majlis ta’lim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah ke kota Madinah beliau mendirikan sekolah/madrsah. Berbagai majlis ilmu ini bukan hanya diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk pertemuan husus untuk kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para sahabat menerima hadits Nabi, kemudian para sahabat mempelajari dan mengulanginya serta menghafal.[i] Di samping itu kegiatan sekolah ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan katib ke berbagai wilayah di luar kota Madinah. Contohnya sejumlah utusan dikirim ke Adzal dan Qara pada tahun ke 3 H. Ke Bi’ru Ma’unah tahun ke 4 H, ke Najran, Yaman dan Hadramaut tahun ke 9 H.[ii]
2. Memberikan Perintah/Instruksi
Nabi bersabda, “Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun hanya satu ayat.”[iii] Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi saw pada saat Hajji wada’: “Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.”[iv] Karena itu merupakan praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk memberitahukan ucapan dan perbuatan Nabi kepada sahabat yang lain yang tidak hadir. Delegasi yang dating ke Kota Madinah diperintahkan untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik bin Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap diemban hingga jauh sesudah Rasul wafat. Tugas yang sama juga diberikan kepada yang lain.[v]
3. Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu
Nabi  saw tidak hanya memeritah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang  besar bagi subyek pendidikan. Nabi saw bersabda :” Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”[vi]. “Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”[vii] Bagi mereka yang mengajar, Rasulullah menyampaikan sabdanya;” Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang besarnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan baik tersebt”. Bahkan Rasul memberikan peringatan kepada orang yang berilmu , tetapi tidak mau mengajarkan kepada yang lain :”Barang siapa menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api neraka”.[viii] Sungguhpun demikian Nabi tetap menyerukan supaya penyampaian hadits itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan jujur.  Untuk itu nabi memberikan peringatan:”Barang siapa berdusta atas nama-ku, maka bersiaplah menempati kedudukannya/tempat duduknya di Neraka”.
b. Metode Pengajaran Nabi
Metode yang digunakan Nabi saw untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis.
1. Metode Lisan
Nabi saw adalah guru bagi sunnah dan ummatnya. Untuk memudahkan hafalan dan pengertian, beliau biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari shahabat, biasanya beliau mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari.[ix] Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan dengan lisan ini, yaitu : Pertama, Nabi menyampaikan pesannya di hadapan jam’ah. Dalam kesempatan semacaam ini para sahabat banyak yang melafalkannya secara antusias.  Oleh karena itu forum ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir, sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya.[x] Bahkan kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai hubungan suami istri, Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya. Contoh lainnya, ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama beberapa orang sahabatnya, maka dalam hal ini yang menerima langsung hanya sedikit, kemudian berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi Nabi, kepada sahabat lain yang tidak ikut.
2. Metode Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sebagainya.
Memang metode tulis dalam penyampaian hadits ini pernah menjadi perdebatan, khususnya pada masa Nabi dan sahabat. Akan tetapi menurut penelitian Musthafa A’dhami , data sejarah memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus) sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda
لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم  .
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. "
(HR. Muslim)
Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda: [xi]
أكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي إلا حق - مسلم
Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi dengan AI-Quran Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.[xii]
Di antara sahabat Nabi yang mencatat hadits Nabi dalam shahifah-shahifahnya adalah:
1. Abdullah bin Amr bin Ash. Shahifahnya diberi nama   الصحيفة الصادقة Menurut Ibnu al-Atsir di dalam shahifah tersebut termuat sekitar 1000 hadits. Hadits-hadits Abdullah bin Amr ini sekarang terhimpun bersama sama hadits yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Musnadnya.
2. Jabir bin Abdullah al-Anshari. Shahifahnya disebut Shahifah Jabir. Imam Muslim dalam kitab shahihnya telah menghimpun hadits-hadits  Jabir bin Abdullah ini dalam masalah hajji.
3. Abdullah bin Abi Awfa. Shahifahnya dikenal dengan nama Shahifah Abdullah bin Abi Awfa.
4. Samurah bin Jundub. Shahifahnya diwarisi oleh anaknya yang bernama Sulaiman bin Samurah.
5. Ali bin Abi Thalib, Shahifahnya berisi hadits-hadits Nabi yang berhubungan dengan diyat.[xiii]
3. Metode Peragaan Praktis
Metode ini biasanya wujud dalam hadits fi’liyah, seperti tata cara wudlu, tayammum, shalat, hajji dan sebagainya. Banyak ketentuan al-Qur’an yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat memahaminya dengan mudah. Menyangkut masalah peragaan praktis ini biasanya Rasulullah juga memberikan instruksi yang jelas, seperti sabda Nabi saw ; “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.”[xiv] Dan hadits Nabi ;” Belajarlah kalia dariku upacara manasik ibadah hajiku.”[xv] Demikian juga jika Nabi saw menjawab pertanyaan yang banyak, beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa saat bersama nya, dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.
c. Cara Shahabat Nabi dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa cara yang dialami para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi saw ialah penerimaan langsung dan penerimaan tidak langsung. Yang dimaksud secara lansung yaitu mereka langsung mendengar atau melihat sendiri apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Nabi saw. Sedangkan cara tidak langsung adalah mereka tidak secara langsung mendengar atau melihat perkataan dan perbuatan Nabi saw., tetapi mereka dapat mengikuti dan menerima hadits –hadits beliau dengan jalan bertanya kepada sahabat lain yang hadir di majlis Nabi.
Adapun cara-cara yang digunakan para shahabat di dalam menyampaikan hadits kepada orang lain (baik kepada sesama sahabat atau kepada tabi’in) ialah melalui dua cara :
1. Dengan lafadz asli (bi al-lafdzi); yaitu menyampaikan hadits yang diterimanya sesuai dengan redaksi yang didengar. Periwayatan dengan lafadz ini tentu hanya berkaitan dengan hadits qawliyah., Sedangkan untuk hadits fi’liyah tentu tidak mungkin diriwayatkan dengan lafdzi.
2. Dengan makna (secara maknawi) ; yakni hadits yang telah diterima oleh para sahabat tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja, tidak persis dengan redaksi yang didengar dan diucapkan Nabi saw.. Jadi bahasa dan redaksinya disusun oleh sahabat sendiri, sadang isinya dari Nabi saw. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi menyatakan bahwa yang penting dari hadits ialah isinya (contens). Sedang bahasa dan redaksinya boleh dengan susunan yang berbeda, asal tidak menyalahi isinya.[xvi]
Sepeninggal Nabi saw wafat, amanat melestarikan dan membina hadits/sunnah Nabi menjadi tanggung jawab para sahabat, terutama para khalifah pengganti Nabi saw. Secara umum pembinaan hadits yang dilakukan para sahabat adalah sebagai berikut:
1.   Sangat hati-hati dalam periwayatan. Artinya mereka sangat memperhatikan rawi dan matan hadits dalam hal penerimaan dan periwayatan.
2.   Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits. Hal ini jangan diartikan bahwa mereka kurang serius dalam melestarikan hadits,namun sesungguhnya  hal  ini  tidak  tertuju pada periwayatan  itu  sendiri, tetapi dimaksudkan  agar  masyarakat lebih  berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan supaya perhatian masyarakat muslim  (hususnya yang sedang dalam  proses pembelajaran) tidak terganggu dalam mempelajari al-Qur'an. Pada masa sahabat penyiaran sunnah Nabiberjalan seiring dengan kebutuhan pembinaan hokum(ketentuan ajaran Islam) yang diperlukan, dengan pengawalan yang  cukup  ketat. Hadits-hadits yang tidak  ada kaitannya dengan pembinaan Syariat,  atau tidak memcerminkan sunnah Nabi dilarang untuk disebarkan.[xvii]
3.   Para sahabat junior , telah mulai banyak yang mengadakan perlawatan ke luar kota/ daerah-daerah, sebab para sahabat senior sebagian berada di sana.
Sedangkan cara yang ditempuh para sahabat dalam periwayatan (kegiatan menerima dan menyampaikan) hadits, secara umum masih didominasi oleh penyampaian lisan (melalui hafalan dan ingatan), baik billafdzi, atau bi al-makna.. Hal ini terjadi karena beberapa faktor :
a.    bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa Utsman saja hanya terdiri dari empat (menurut sebagian ulama ada lima) copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya sangat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b.   Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-qur’an
c.    Tradisi saat itu mengharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan, Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan ) akan dinilai  kurang sempurna;
d.   Pendokumentasian al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits[xviii]
d.             Ulama penulis Hadist dan Kitabnya
Pada abad III H  hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan. Oleh karena itu kegiatan para ulama abad IV H ini, meskipun masih ada yang melakukan usaha pembukuan (melakukan perlawatan ke daerah dengan tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan dalam suatu kitab), tetapi kebanyakan  kegiatan mereka ditujukan kepada pemeliharaan hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah ada, dengan cara  (1) mempelajari (2) menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan  serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang sudah ada (5) memberikan syarah dan komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits yang  ada.[xix]
           
Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:
1.       Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah
2.       Al-Anwa’ wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban
3.       Kitab Musnad, karya Abu Awanah
4.       Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud
5.       dan lain-lain

b. Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits
Ulama hadits pada periode ini di samping menyusun kitab hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits dengan sistem baru sebagai berikut:
1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari kitab lain. Misalnya :
a.       Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy
b.       Athraf sl-Shahihain, susunan  Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi
c.       Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi

2.  Kitab Mustakhraj; yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya:
a.    Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya  al-Jurjani
b.       Mustakhraj Shahih Muslim, karya  Abu Awanah
c.       Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi

3.  Kitab al-Mustadrak; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim. Contohnya :Al-Mustadrak  ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-Hakim
4. Kitab Jami’ ; yaitu kitab hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya :
a.    Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat
b.       Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi
c.       Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi

5. Kitab Berdasar pokok Masalah; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
a.   Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam
b.             Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
c.             Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi

  1. Kitab Syarah ; yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional. Contohnya antara lain:
a.       Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
b.       Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi
c.       Aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq al-Adhim al-Abady
d.      Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi
e.       Syarah Ta’liq, syarah sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Syuyuthi
f.        Al-Dibajah, syarah Sunan Ibnu Majah, karya  Kamaluddin al-Damiri.

  1. Kitab Mukhtashar; yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah dihimpun dalam kitab yang  sudah ada, dengan cara menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu. Misalnya dengan membuang sanad, Contoh :
a.       Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi
b.       Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi

  1. Kitab Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan memuat sebagian kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian menjelaskan letak hadits yang dimaksud di dalam kitab-kitab hadits; mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya. Sebagian kitab kamus hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk juz dan halaman kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab Miftah Kunuz al-Sunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd. Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk untuk mencari matan hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimi,  Muwattha’ Malik, Musnad  Zaid bin Ali, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi,  Musnad Ahmad bin Hambal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirat Ibnu Hisyam dan al-Maghazi al-Waqidi)

  1. Kitab Tahrij ; yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang tempat-tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus menjelaskan kualitanya. Di antara contohnya :
a.    Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’, karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, karya al-Ghazali
b.       Kitab Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Mannawi,sebagai takhrij terhadap hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi .

10  Kitab Zawa’id ; yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatakan oleh ulama hadits tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang dimuat dalam kitab Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat hadits hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam al-Kutub al-Sittah.



BAB 3
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1. Hadits Nabi Pada Periode Abad I H
     Periode abad I H ini meliputi zaman Nabi saw, Sahabat Nabidan zaman Tabi’in besar (senior) di masa pemerintahan Bani Umayah, yaitu ahir abad I H.
a. Langkah-Langkah Nabi saw dalam menyebarkan Hadits/Sunnah
1. Mendirikan sekolah;
Ketika Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan mendirikan semacam majlis ta’lim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain.
2. Memberikan Perintah/Instruksi;
Nabi bersabda, “Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun hanya satu ayat.”[xx] Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi saw pada saat Hajji wada’: “Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.”[xxi] Karena itu merupakan praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk memberitahukan ucapan dan perbuatan Nabi kepada sahabat yang lain yang tidak hadir.
3. Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu;
Nabi  saw tidak hanya memeritah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang  besar bagi subyek pendidikan. Nabi saw bersabda :” Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”[xxii]. “Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.
b. Metode Pengajaran Nabi
Metode yang digunakan Nabi saw untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis.
c. Cara Shahabat Nabi dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits
Adapun cara-cara yang digunakan para shahabat di dalam menyampaikan hadits kepada orang lain (baik kepada sesama sahabat atau kepada tabi’in) ialah melalui dua cara :
1. Dengan lafadz asli (bi al-lafdzi); yaitu menyampaikan hadits yang diterimanya sesuai dengan redaksi yang didengar. Periwayatan dengan lafadz ini tentu hanya berkaitan dengan hadits qawliyah., Sedangkan untuk hadits fi’liyah tentu tidak mungkin diriwayatkan dengan lafdzi.
2. Dengan makna (secara maknawi) ; yakni hadits yang telah diterima oleh para sahabat tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja, tidak persis dengan redaksi yang didengar dan diucapkan Nabi saw..
d.   Ulama penulis Hadist dan Kitabnya
Pada abad III H  hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan.
Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:
e.       Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah
f.        Al-Anwa’ wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban
g.       Kitab Musnad, karya Abu Awanah
h.       Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud
i.         dan lain-lain
B.  SARAN

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan.Maka dari itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, kiranya kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini ke depannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian, khususnya bagi anggota kelompok kami. Amin.
C.  DAFTAR PERTANYAAN
1.      Linta Jazila:
Apa maksud takhshis al-’amm ?
Jawab:”takhshis al-’amm yaitu menjelaskan hadits yang bersifat khusus ke umum”.
2.      Lusi Setyawati:
Adakah orang-orang Arab yang diandalkan Rasul untuk mengingat hadits ?
Jawab :”Rosul tidak merekomendasikan langsung tetapi memberi kriteria-kriteria tertentu bagi sahabat-sahabat yang dipercaya untuk menghafal hadits”.
3.      Laila Itsna Ahmada
Apakah surat nabi kepada raja tentang seruan masuk islam termasuk hadits ?
Jawab :”iya, hadits tersebut diimplementasikan kepada raja-raja dalam bentuk tulisan /surat perintah seruan masuk islam /ajaran islam.
4.      Maya Fidanata
Dari langkah-langkah dan metode tersebut mana yang mudah diterima ?
Jawab :”langkah yang paling mudah yaitu memberi motivasi bagi pengajar dan penuntut ilmu. Karena langkah tersebut dapat memberikan dorongan kepada sahabat dan masyarakat secara umum agar mereka mau belajar tentang hadits, sehingga penyebaran hadits bisa berkembang lebih cepat dan bisa diterima dalam masyarakat luas.
Sedangkan metode yang paling mudah yaitu metode peragaan praktis, karena metode tersebut langsung diberikan contoh langsung secara sederhana oleh Rosulullah sehingga, para sahabat dan masyarakat dengan mudah menerima dan menangkap dari isi hadits yang disampaikan.








DAFTAR PUSTAKA

[i]Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991) hal. 83
[ii]Muhammad Musthafa A’dhami, (selanjutnya disingkat M.M.A’dhami) Memahami Ilmu Hadits, (Lentera, 1993), hal 14; Lihat pula pada Muhammad Musthafa A’dzami, Prof. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994) hal. 80-85
[iii]Kelengkapan hadits ini dmuat dalam kitab Sunan al-Turmudzi, bab al-ilmu ‘an Rasulullah . Demikian pula dalam Shahih al-Bukhari pada bab ahadits al-anbiya’
[iv]Hadits ini secara lebih lengkap dapat dilihat pada Shahih al-Bukhari, bab al-ilmu dan bab al-Haji           
[v]Selanjutnya dapat dilihat pada M.M. A’dhami, Memahami ….. op cit, hal 15
[vi]Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitabnya pada bab Muqaddimah
[vii] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukharibab al-Ilmi. Demikain pula Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim, bab Ilmu.
[viii]Lihat misalnya pada Sunan Ibnu Majah, bab al-Muqaddimah
[ix]M.M. A’dhami, Memahami Ilmu…..op. cit. hal. 13
[x]Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta:  Grafindo Persada, 1993) ha. 59
[xi]Nur Sulaiman Prof. Dr. Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 )hal. 46-48
[xii]Ibid, hal.  49
[xiii]Pembahasan mengenai catatan san shahifah para sahabat Nabi dan Tabi’in, secara lebih luas bisa dibaca pada M.M. A’dhami, Hadits Nabi dan Sejarah……op. cit, hal. 123-440
[xiv]Secara lengkap hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bikhari  pada bab al-adzan
[xv]Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam bab al-Haji, dan imam Muslim pada bab masik al-Haji
[xvi]Syuhudi Ismail, Pengantar …….op. cit, hal . 87-88
17Menurut  Abu Muhammad,  yang dimaksud ‘hadits (yang tidak  boleh  diriwayatkan  dalam  kapasitas  jumlah yang  banyak) adalah hadits-hadits tentang masa-masa yang dialami  oleh Nabi, bukan hadits-hadits yang ada kaitannya dengan  masa­lah  fardlu dan sunnat. Lihat M.M. Azami,  Hadits  Nabawi dan  Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta,  Pustaka Firdaus, l994), h. 186.  Sedang menurut Syah Wali Allah al-Dahlawi, sebagaimana  dikutip Syibli Nu'mani, bahwa  hadits  hadits yang  tidak  boleh diriwayatkan secara  berlebihan  adalah riwayat-riwayat  mengenai kebiasaan pribadi  Nabi, karena riwayat  demikian  tidak mempunyai  kaitan  dengan  hukum. Lihat Syibli Nu'mani, Umar bin Khatthab  yang Agung,  Sejarah dan Analisis  Kepemimpinannya,  terj.(Ban­dungng; Pustaka, l994) h. 480-481.
[xviii]Al-Yasa Abu Bakar, Dr. Pengantar Mata Kuliah Ushul Fiqih (Banda Aceh: IAIN Ar Raniri, 1993), hal. 17
[xix]Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits……op. cit. hal. 120-121
[xx]Kelengkapan hadits ini dmuat dalam kitab Sunan al-Turmudzi, bab al-ilmu ‘an Rasulullah . Demikian pula dalam Shahih al-Bukhari pada bab ahadits al-anbiya’
[xxi]Hadits ini secara lebih lengkap dapat dilihat pada Shahih al-Bukhari, bab al-ilmu dan bab al-Haji          
[xxii]Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitabnya pada bab Muqaddimah 

0 komentar:

Posting Komentar