my sense of imagination

ads1

Minggu, 24 Agustus 2014

MAKALAH
`ULUMUL HADIST
“SEJARAH HADITS PADA MASA SAHABAT”
Dosen: H.Muh. Khoirul Rifa’I,M.Pd.I



Anggota kelompok 4:
Muhammad Hamim Wahyudi
Lusi Sulistyawati


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
TAHUN AJARAN 2013 / 2014
KATA PENGANTAR
                Assalamu’alaikum wr.wb.
            Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat serta InayahNya sehingga kami mampu menyelesaikan penulisan makalah ini yang membahas tentang sejarah hadits pada masa sahabat.Dan tak lupa kami ucapakan terima kasih kepada teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.Sarana penunjang makalah ini kami susun berdasarkan referensi yang bermacam-macam.Hal ini dengan tujuan untuk membantu para mahasiswa untuk mengetahui, memahami bahkan menerapkannya.
            Adapun makalah ini kami susun dengan tujuan: Pertama, mempermudah mahasiswa untuk menyampaikan materi yang ada. Kedua, mempermudah mahasiswa untuk belajar. Ketiga, dapat memperlancar proses belajar dan mengajar, sehingga mahasiswa menjadi aktif.
            Namun demikian, dalam penulisan makalah ini masih terdapat kelemahan dan kekurangan.Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat di harapkan.
            Akhirul kalam, semoga yang tersaji ini dapat memberikan sumbangan kepada para mahasiswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di kampus. Amin
Wassalamu’alaikum wr.wb.



BAB 1
PENDAHULUAN
  1. A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Allah telah memilih Rasulnya Muhammad saw guna untuk menyampaikan risalah ketuhanan kepada seluruh umat manusia, membacakan ayat-ayat-Nya serta mengajarkan kitab suci al-Qur’an dan juga hikmah. Allah swt juga telah menerangkan kitab-Nya melalui prilaku, ketetapan, perkataan, dan perbuatan Rasul.
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan pekembangan hadits ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan prilaku umat islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli Hadits, terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna.
  1. B.  RUMUSAN MASALAH
Makalah ini dibuat untuk mengetahui “bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits yang diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya”.
  1. C.  TUJUAN
Tujuan disusunnya makalah ini untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat dan Tabi’in beserta cara penyampaiannya.






BAB II
PEMBAHASAN
 PERKEMBANGAN HADITS pada MASA SAHABAT
1.      Hadist pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits  adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.[1] Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an.Akibatnya periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadits.
Kehati - hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-Qur’an.[2] Keberadaan hadits  yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.  Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
a.   Abu Bakar al-Shiddiq
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati - hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748H/1347M),  sahabat Nabi yang pertama - tama menunjukkan sikap kehati - hatiannya dalam meriwayatkan hadits adalah Abu Bakar al-Shiddiq.
Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat.
Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya  Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.

b.        Umar ibn al-Khathab
Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits.Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits. 
  Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang.Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam.Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.



c.       Utsman Ibn Affan
Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.
            Meskipun Utsman  melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits.  Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya.Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadist.Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas.Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
d.      Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima hadits  sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.[3] Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya,  Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits.Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
Berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits.
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khatab. Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab,seperti halnya al-Qur’an. Ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari al-Qur’an, sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadits dari Rosul saw. sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.Pertimbangan lainnya, bahwa dalam membukukan hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
  1. Periwayatan Hadits dengan Lafadz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits,yang ditujukan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya,tidak berati hadis-hadis rosul tidak diriwayatkan.dalam batas-batas tertentu hadits-hadits ini diriwayatkan,khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dalam muamalah.periwayatan tersebut  dilakukan setelan diteliti secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran isi matannya.
  • Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan rasul saw. ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan rosul saw.
  • Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari rosul saw. akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw, tanpa ada perubahan sedikitpun. Karakteristik yang menonjol adalah bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitap allah.mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran,mushaf dan dalam hati mereka.




KESIMPULAN
Periode kedua sejarah perkembangan hadist adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa’ al Rasyidin(Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Sehingga masa ini dikenal dangan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah. Adapun hadits pada masa tabi’in terdapat pusat – pusat pembinaan hadits antara lain: Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Sedangkan tokoh – tokohnya: Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah(istri nabi), Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah, Abu Sa’id al-Khudzri. Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokohnya: Madinah yaitu Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar. Makkah yaitu Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair.Kufah yaitu Ibrahim an-Nakha’I, Alqamah.Basrah yaitu Muhammad ibn Sirin, Qatadah.Syam yaitu Umar ibn Abdul Aziz.Mesir yaitu Yazid ibn Habib.Yaman yaitu Thaus ibn Kaisan al-Yamani.
Keadaan hadits pada masa tabi’in ini sempat memunculkan beberapa pengaruh yaitu terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut). Pengaruh  negatif, ialah  munculnya hadits palsu (maudhu’) yang mendukung kepentingan politik masing – masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan. Dan pengaruh positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadits.






DAFTAR PUSTAKA
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadist. Semarang: RaSAIL Media.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rofi’ah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. Ponorogo: STAIN PO Press.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja  Graafindo Persada.
Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.


0 komentar:

Posting Komentar