my sense of imagination

ads1

Minggu, 16 Februari 2014

Oleh : Arif Riza
Banjir bahasa, tentu menjadi sebuah inovasi, pembaruan dalam daftar ketatabahasaan kita. Betapa tidak, semua orang yang sekarang masih hidup atau mereka yang sudah mati, menganggap banjir identik dengan air. Mereka berpegangan pada satu kaidah pengertian bahasa yang linier.
                Pada hakikatnya, pengertian banjir dapat ditelikungkan ke dalam macam-macam bentuk. Dan tergantung pada kata apa yang mengiringi kata banjir.  Salah satu contohnya ketika banjir ditambah dengan bahasa, yang akan timbul satu kalimat baru berupa “banjir bahasa”.
                Pengertian banjir selalu menimbulkan pemikiran yang negatif. Begitu juga jika kita mengartikan banjir bahasa. Banjir bahasa sebagai sebuah bencana yang mengakibatkan sebuah bahasa pokok tergerus oleh berbagai macam bahasa yang sedang tren dimasyarakat.
                Tanpa kita sadari, kitalah yang berperan pada keadaan ini, bencana banjir bahasa. Kita menebangi pohon-pohon bahasa, menghancurkan drainase bahasa, membuang sampah bahasa sembarangan, tidak memperbaiki sistem irigasi bahasa. Dan tanpa kita sadari, kita telah hanyut terbawa oleh arus banjir bahasa tersebut.
                Posisi kita sekarang hanyalah menjadi konsumen absolut. Kita hanya mencerna bahasa yang akhirnya menumpuk dan membusuk di dalam memori otak. Kita belum mampu untuk memproduksi bahasa sendiri, atau paling tidak menyaring masuknya banjir bahasa ke dalam diri kita.
                Kalau kita sudah tahu memori kita sudah penuh, lober dengan banyaknya bahasa yang bersemayam dalam otak kita. Kita tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Ibarat orang kaya, mesti dia memiliki kewajiban untuk bersedekah, membayar zakat, atau beramal pada mereka yang kekurangan. Begitu juga dengan tumpukan bahasa di otak kita, yang seakan menggenangi memori otak, maka kita harus mensedekahkannya pada orang lain. Kita jangan menjadi seorang yang kikir bahasa.
                Tapi ada kemungkinan juga kalau kita itu fakir bahasa. Memang benar kita mengonsumsi beribu-ribu bahasa setiap hari, tapi entah bagaimana caranya, bahasa itu menghilang begitu saja. Bahasa masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Kita cenderung menjadi orang yang apatis, yang tidak mau peduli pada apa yang sebenarnya terjadi disekitar kita.

Banjir bahasa menjangkit di mana-mana
                Jika kita membenturkan banjir bahasa dengan dunia politik di Indonesia, yang sedang marak-maraknya aksi kampanye para politikus, tentu masih ada keterkaitannya. Politikuslah yang menjejali kita dengan slogan-slogan persuasif, yang hanya mementingkan tujuan mereka demi kesuksesan pemilu.
                Ada juga peran para tokoh agama, seperti para da’i yang mengatasnamakan syiar agama, ikut menciptakan arus banjir bahasa. Seperti da’i-da’i di televisi yang menciptakan bahasa sendiri, yang baru dan alay. Tujuan mereka hanya ingin dia diminati oleh masyarakat luas tanpa memandang akibat baik dan buruknya.
Dan fakta menariknya, dari bidang apapun itu, ada semacam pendistribusian bahasa secara terus menerus kepada kita para konsumen, yang kita tak kuasa menentang arus tersebut. Kita terus menerus tererupsi oleh arus bahasa, tanpa pernah dapat bangkit dan menepi dari arus tersebut.

Alai arus banjir yang berbahaya
                Jika kita sering menonton televisi, tentu kita akan sering mendengar bahasa-bahasa yang aneh dan terbaru. Bahasa tersebut yang akhirnya mampu menginfeksi para penonton setia televisi. Mereka akan beradaptasi, mengikuti tren bahasa yang diciptakan diacara-acara pertelevisian.
                Terutama arus itu akan semakin deras, jika yang mengucapkannya adalah para artis-artis terkenal, yang menjadi idola kita. Entah itu dari artis komedian, artis perfilm-an, maupun para tokoh politik yang sering dimunculkan sebagai promosi menjelang pemilu.
                Untuk para politikus, merekalah subjek yang paling pintar memanfaatkan situasi yang dialami oleh masyarakat pada umumnya. Mereka pandai menganalisis kemampuan masyarakat yang akan mereka jadikan korban arus banjir bahasa yang mereka ciptakan.

Atur jarak dan posisi
                Lalu bagaimana kita mengkondisikan keadaan untuk menentang arus tersebut, atau paling tidak mengungsi dari arus banjir bahasa? Jujur saja, hal itu sangatlah sulit. Karena yang terjadi pada umumnya, kita yang beradaptasi, menyesuaikan diri dengan munculnya bahasa-bahasa baru yang sedang nge-tren.
Mana mungkin ada bencana malah kita bahagia. Kita jangan mau mengikuti budaya masyarakat yang telah terbawa oleh arus banjir bahasa. Tidak usah memperdulikan perkataan mereka yang bilang kalau kita kuper lah, gak gaul lah. Mereka itulah yang bersenang-senang di atas penderitaan sendiri. Mereka yang malah berselancar, atau berenang di tengah-tengah bencana banjir tersebut.
                Lebih baiknya kita menyingkir dari arus banjir bahasa tersebut. Karena kita belum tentu mampu untuk melawan arus besar yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan kita. Kita harus mengatur jarak aman, sehingga kita dengan tenang berdiri sendiri di tempat kering yang jauh dari banjir bahasa.

Sendiri dan terisolasi
                Kita bisa saja menghindar dari arus banjir bahasa. Tapi akibat yang ditimbulkannya, kita akan masuk ke dalam hutan rimba yang tidak berepenghuni. Yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian manusia. Tanpa kita sadari, kita telah berjalan berlainan arah dengan mereka yang telah terbawa oleh arus banjir bahasa. Bahkan kita hanya bisa berpapasan dengan mereka, para sahabat  yang kita kenal akrab.
                Inilah sisi lain yang tentunya akan membuat kita binggung menentukan pilihan. Kita akan dicap manusia aneh, yang tidak sama dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan yang paling buruk kita dianggap sebagai manusia asosial, yang tidak mampu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
                Jika kita berani melawan arus banjir bahasa, kita akan akan diganjar dengan predikat manusia langka di bumi ini. Kita akan menjadi bagian kecil manusia yang mampu menggentaskan diri dari banjir tersebut. Yang lebih hebat lagi, kita mampu membawa teman kita sadar untuk menepi, dan menjauh dari derasnya arus tersebut. Kita tidak boleh terbebas sendirian, tetapi kita juga harus menolong mereka yang membutuhkan pertolongan kita. Jika kita tidak berusaha menolong mereka terbebas dari situasi tersebut, itulah yang dinamakan tindak asosial yang sebenarnya.
               



0 komentar:

Posting Komentar