my sense of imagination

ads1

Minggu, 16 Februari 2014

Oleh : Arif Riza Azizi

            Perpustakaan, sekarang harusnya menjadi tempat yang lebih akrab pada ku, kepada kehidupan keseharianku. Kini aku merasa dalam diri ku timbul secerca semangat untuk membaca-membaca dan terus membaca. Dan perpustakaan saya anggap sebagai pemuas nafsu ku saat ini, kala aku belum punya buku sendiri atau aku belum bisa menemukan sarana lain pengganti perpustakaan. Saya punya keinginan untuk masuk perpustakaan setiap kali sehari. Untuk mengelus satu per satu halaman, menatapnya penuh mesra, mencurahkan semua pikiran pada dia seorang. Dan sejauh ini, itulah pemahaman saya tentang perpustakaan. Perpustakaan bagi ku hanya sebagai sarana pasif, yang hanya menyediakan buku-buku berak-rak  jumlahnya. Inilah ironi mencengangkan yang saya hadapi, dan saya menduga hal ini juga terjadi pada kalian juga.
            Menggali Pustaka Candi, yang diadakan di UII Yogyakarta, 11 Februari 2014. Menambah informasi saya tentang perpustakaan. Seminar yang menuturkan berbagai macam kepustakaan berdasarkan berbagai perspektif, berdasarkan profesi ke tiga narasumber yang dihadirkan. Perpustakaan dalam perspektif seorang penulis, seniman dan dosen.
            Namun saya lebih tertarik mencatat apa yang  disampaikan oleh Elisabeth. Perpustakaan dipandang Elisabeth, seorang penulis yang menjadi narasumber di seminar tersebut, menjadi tiga macam bentuk, yang bisa disebut penggolongan berdasarkan zaman peradaban. Yang pertama, perpustakaan dipandang sebagai bentuk akal budi manusia yang tersimpan di memori pengingatnya. Pengertian ini didasarkan pada kondisi peradaban nguping,yang belum ada perwujudan suara menjadi tulisan. Jadi, informasi-informasi yang mereka peroleh dari hasil mengamati maupun mewawancarai narasumber, akan mereka tata ke dalam memori ingatannya.
            Yang ke dua, perpustakaan berbentuk batu, lontar, kulit, daun ataupun kertas. Hasil perwujudan dari pengetahuan mereka akan dituliskan pada sarana-sarana tersebut. Mereka mencoba mengabadikan pengetahuannya, karena kesadaran akan kefanaan dunia ini. Dan karena hal itu juga, dirasa daya ingatan mereka tidak akan sepeka saat mereka menggunakan akal budi manusia sebagai sarana perpustakaan.
            Yang ke tiga, dan “mungkin belum ada pengakuan atas gagasan ini”, kelakar Elisabeth, bahwa perpustakaan kini dimediasi oleh berkembangnya dunia maya. Tetapi yang menarik adalah keyakinan dari Elisabeth akan kembalinya perpustakaan dari dunia maya kembali pada daya ingat akal budi manusia. Berarti perwujudan dari perpustakaan akan membentuk siklus, dari era dunia maya yang menjadi pangkal akan kembali ke awal berbentuk akal budi manusia. Hal ini dirasa sebuah desakan yang harus diwujudkan. Karena dunia maya telah menimbulkan efek kafein yang sudah tentu berlebihan. Mereka akan selalu dan terus menerus bergantung pada teknologi yang memang instan, cepat dan mudah untuk menemukan jawaban masalah yang kita hadapi. Tapi hal itu berdampak pada menurunnya daya ingat kita, yang semakin jarang kita gunakan.
            Tidak banyak yang saya ketahui hal tentang perpustakaan. Sejarah dari perpustakaan saya ketahui saat mempelajari masa pemerintahan khalifah Umar Bin Khotob. Tetapi saat itu sebenarnya bukan perpustakaan yang sebenarnya. Yang saya maksud adalah perpustakaan yang berbentuk satu ruangan khusus untuk menyimpan buku. Di masa itu perpustakaan masih berada di masjid-masjid, di dalam ruangan tersendiri. Masjid kala itu bisa dibilang sebagai sarana multifungsi. Selain ada perpustakaan di sana juga dilangsungkan proses belajar mengajar, yang dulunya dikenal dengan pembelajaran secara shorogan. Yaitu, setelah mempelajari buku-buku yang ada kemudian mereka akan beridiskusikanya dengan seorang tutor perpustakaan. Dan proses itulah yang dulunya menjadi proses belajar mengajar satu-satunya, karena belum adanya universitas.
            Selain masjid yang digunakan sebagai sarana multifungsi, ternyata gereja juga dimanfaatkan sedemikian rupa untuk tempat menyimpan buku-buku. Di bantul, seorang shul mulder menjadikan gereja sebagai tempatnya menyimpan buku-buku. Dia setiap saat berada di gereja itu, untuk mempelajari buku-buku yang ada di sana.

            Entahlah, sejarah perpustakaan yang seperti ini belumlah cukup untuk menggambarkan bagaimana perpustakaan itu sebenarnya. Perpustakaan saat itu bisa dibilang masih nimbrung, ke masjid-masjid atau gereja-gereja, yang sebenarnya adalah tempat untuk sembahyang untuk saat ini. Tapi saya kira menggunakan masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya sebagai sarana multifungsi menjadi hal yang tepat. Karena tempat-tempat itu bukan hanya melulu menjadi tempat beribadah, tetpai harus ada kegiatan lain yang tentunya bermanfaat, seperti digunakan untuk perpustakaan.

1 komentar:

  1. Salam,
    Saya dari Kalanari Theatre Movement, penyelenggara acara Menggali Pustaka Candi. Kami Mohon ijin memuat artikel saudara di web kami sebagai bagian dari pendokumentasikan kegiatan kami, dengan menyebutkan nama penulis dan link blog ini. Berikut link artikel saudara di web kami: http://www.kalanari.org/2014/02/perpustakaan-dan-tempat-ibadah.html
    Terima kasih banyak

    BalasHapus