my sense of imagination

ads1

Jumat, 07 Maret 2014

Oleh : Arif Riza Azizi

Kurang lazim untuk mendengar kata banjir bahasa. Dan mungkin hanya ada keheranan saat gendang telinga ini bergetar mendengar kata yang sungguh menggelitik. Aku tidak akan mencoba mendefinisikan pengertian banjir bahasa. Aku lebih ingin membebaskan pembaca, menjelajah akal pikirannya menerjemahkan pengertian banjir bahasa sesuai persepsi masing-masing. Yang pasti, sama halnya dengan dengan banjir air, banjir bahasa juga termasuk ke dalam wilayah negatif, dimulai dari sebab sampai akibatnya.

Mencoba menjadi seorang ahli riset “gadungan”, aku mencoba menelisik hal ihwal yang berperan menyampaikan debit air penyebab banjir, dan tanpa mengabaikan rasa hormat, instansi pendidikan menjadi pipa kecil berskala besar, yang terus –menerus mengepul volume air yang menggenangi permukaan pikiran kita. Apalagi saat kita berada di lingkungan kampus, debit air seakan selalu menjadi ombak besar. Mahasiswa yang lebih senang mempraktikkan yang namanya bahasa intelektual sebagai ciri khas manusia berpendidikan tinggi, yang tinggi tegak pula bahasa yang mereka gunakan.

Bahasa intelektual yang merupakan alih kebahasaan dari berbagai bahasa asing yang membanjiri kosa kata bahasa dalam negeri, seakan menjadi komoditas yang laris nan diminati oleh masyarakat kita sebagai bahasa pembentuk strata. Semakin bisa berkomunikasi dengan bahasa intelektual gengsi kita dibilang semakin tinggi, dan pandangan orang akan tentu berbeda sama sekali. Meniru istilah iklan pertelevisian, “mulutmu harimaumu”, menjadi bukti shahih bahwa ucapan seseorang menjadi suatu pembeda.

Lingkungan intelektual menyeret segala keadaan bangsa ini. Bahwa semua telah tererupsi oleh virus kebahasaan. Bibir kita seakan menjadi selang atau pipa-pipa yang ikut mengalirkan air, menambah defisit banjir dalam kebahasaan kita. Bukan masalah cuaca banjir kebahasaan bergelombang datang menggenangi bibir saat berucap. Aliran deras sungai bahasa meluap sewaktu-waktu, untuk saat in, dan tidak ada kemungkinan surut sebagian atau seluruhnya. Kita sendiri yang telah menutup drainase-drainase bahasa, sama seperti tidak adanya saluran drainase di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Bangunan-bangunan menjulang tinggi meratakan, memenuhi jumlah rataan daratan. Sehingga air mulai kebingungan mencari tempatnya menyatu bersama tanah persemayamannya.

Bagaimana lagi, mengatasi volume banjir bahasa yang sudah akut. Setiap saat banjir bahasa terus dipasok, berbalikan dengan waduk penampung bahasa yang semakin dangkal. Dasar waduk dangkal oleh tanah yang mengendus ke dasar waduk. Volume waduk menjadi semakin berkurang. Ditambah pengaruh dari pegunungan atau sejenis gundukan tanah bahasa, bahasa yang hidup asri dan asli di dalamnya ditebangi semena-mena, mengakibatkan tanah menjadi gundul. Samakan saja dengan kejadian longsor pergunungan yang dikarenakan penggundulan hutan. Tanah yang tinggi menjadi tidak berurat tanpa topangan akar dari tumbuh-tumbuhan. Saat ada hujan deras, dengan mudah gunung menjadi longsor. Longsor bahasa pun juga karena tidak adanya topangan dari pohon bahasa, saat datang bahasa impor membanjiri ketatabahasaan kita, bahasa asli yang cukup dan tenang mengisi dimana cekungan tempat bahasa tergenang, tertindih oleh bahasa impor yang membanjiri debit bahasa kita.

Banjir yang terus menggenangi, bersamaan hujan bahasa yang terus menghujani bumi bahasa, meluap masuk ke dalam rumah-rumah. Kita mencoba mencegahnya? Tidak. Kita mendiamkannya dan mengamalkannya setiap hari, waktu dan menit yang terlewati. Sejatinya, banjir yang menggenangi rumah akan menimbulkan kekotoran bahasa. Perlu dipel untuk membersihkannya, mungkin juga butuh deterjen pembersih untuk menghilangkan nodanya. Kalaupun hanya sebatas noda di baju atau di tubuh kita, mudah kita membersihkannya. Masalahnya kita berurusan dengan noda yang tidak kasat mata. Bagaimana mau menghilangkannya, kalau diibaratkan penyakit dia lebih ganas daripada kanker.

Kalian pembaca pun bisa menemukan bahasa impor dalam tulisan saya ini. Tanpa menafikkan diri, memang sangat sulit menghindari arus banjir bahasa dewasa ini. Aku menyadarinya setelah aku berada di tengah muara banjir bahasa, tergenang banjir bahasa, dan bagaimana aku harus mengentaskan diri, jika aku terlanjur basah. Tapi bukan berarti aku terus menerus berdiri bermandikan air di tengah muara bahasa ini, usaha untuk mengungsi selalu menjadi prioritas. Mengungsi dan kembali disaat banjir bahasa sudah reda dan surut.


0 komentar:

Posting Komentar